Kamis, 01 Mei 2014

perbincangan di udara

Kali ini pertanyaannya berbeda. Mungkin karena tak ada topik, kita membahas hal-hal semacam percintaan. Ya, sadar atau tidak manusia cenderung lebih bisa menangkap hal percintaan daripada apapun, pelajaran misalnya.
"Jadi mantanmu berapa?"
Katanya di ujung sana. Hah, aku sedikit terkejut dengan pertanyaan seperti ini.
"Jawab dong." Katanya lagi.
"Err.. empat?"
Dia terdiam sejenak. Mungkin lagi berpikir.
"Kalau kamu sendiri?"
"Hah, aku mah baru sekali pacaran." Jawabnya.
Baru sekali? Padahal dia tak begitu buruk pikirku. Dia mempunyai senyum yang cukup menawan. Hidung tinggi. Dan lumayan pintar.
Saat itu aku sempat bertanya, kenapa dia tak mencari perempuan lain. Dia hanya tertawa. Aku menjadi sangat bertanya-tanya dalam hati.
Ia sempat bercerita akan salah satu temannya. Mendengar temannya bercerita, ia menyadari bahwa pendekatan (pdkt) jauh terasa indah daripada saat pacaran.
"Aku nggak ingin, saat aku pacaran, pacarku marah karena tidak diberi kabar saat aku sibuk. Kita ini kan udah dewasa." Katanya.
"Menurutku tiap-tiap orang berbeda-beda. Tergantung kamu milihnya siapa."
"Nggak, Ken. Kalau pacaran kan aku maunya punya komitmen dan kepercayaan."
Kamu nggak pernah tahu aku sih. Batinku dalam hati.
"Selama pacaran pun aku juga komitmen. Walaupun aku terkadang masih ingat mantan tetapi aku nggak akan balik dengannya kalau aku udah buat komitmen."
Katanya lagi, komitmen itu gampang untuk dilanggar.
Aku nggak pernah mengerti dengan dia yang hanya melihat satu sudut pandang.
Lagi-lagi aku berpikie, coba saja kekasihmu itu aku.
"Lagian kamu, Ken, udah punya 4 mantan. Jadi cintamu kebagi-bagi. Belum lagi untuk ke 5, ke 6.."
Aku bengong. Dia bisa berpikiran seperti itu..
"Aku saja bangun komitmen dengan laki-laki yang aku cinta sekarang."
Dia bertanya akan lelaki itu. Aku tak menjawab.
"Kenapa tak kamu nyatakan saja?"
"Hah? Kamu gila apa? Ya, mending aku minta kembali sama mantan aku kalau aku berani bilang.
Katanya aku gengsi. Tapi aku masih sulit untuk menyatakannya.
"Bagaimana jika dia diambil orang lain?"
"Aku pasrah. Kalau memang untukku, pasti untukku."
"Tapi kan cinta butuh usaha."
"Aku udah usaha. Sebisaku. Aku percaya akan hal itu. Cinta yang akan menuntunnya."
"Kamu gengsian sih. Kalau begitu, dia nanti diambil orang lain karena kamu nggak jujur ke dia. Jadi bagaimana denganmu?"
"Aku yakin cinta akan menuntunku perlahan-lahan beremu penggantinya. Aku masih percaya."
Mungkin aku sama seperti perempuan lainnya, hanya bisa menunggu.
Jika tidak suatu waktu akan keluar ucapan itu.
Suatu saat..
"Aku penasaran dengan orang yang kau tunggu itu. Siapakah dia."
Seseorang itu kamu. Kataku dalam hati.