"Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda? Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi?"
Menyedihkan. Ini kisah cintaku.
Ia seseorang yang pertama menjalin hubungan denganku. Sosok yang tak akan pernah terlupa. Dan tak akan tergantikan.
Ia setia, hidup di dalam hatiku.
Ia setia, tak ingin tergantikan.
Perbedaan agama membuatku menjadi orang yang paling menyedihkan.
Mengapa Tuhan mempertemukan, lalu agama mencoba memisahkan?
Kau tahu?
Ini kesakitan yang mendalam. Sejak beberapa tahun yang lalu.
Apa yang salah dengan menjalin hubungan dengan berbeda agama?
Kau tahu?
Kami sama-sama manusia dan saling mengasihi. Agama pun semuanya mengajarkan kebaikan. Hanya saja kami menyembah Tuhan yang berbeda.
Jika kau tahu namanya tulus dalam hati. Terbekati dirinya dalam diriku.
Bukankah di negara ini bebas beragama. Lalu mengapa kami terlahir dengan agama pilihan orang tua kita? Mengapa kita tak bisa memilih agama yang ingin kita anut?
Kau tahu?
Aku tak pernah menyesal terlahir dalam agama yang kupegang saat ini. Aku hanya tak mengerti akan kesalahan mencintai perbedaan. Aku mencintainya, bukan Tuhannya. Aku mencintai kebaikannya, bukan agamanya.
Bukan karena aku lebih mencintainya daripada Tuhanku. Hanya saja, walaupun terlahir sama sepertinya, aku pasti akan belajar. Logika yang kupunya harus berfungsi.
Aku tak bermaksud untuk mempermudah agama, tapi agama bukankah mempermudah?
Aku tak mudah untuk pergi. Sejak 4 tahun yang lalu. Agama masih menjadi benteng yang menghalangi kami.
Bukankah cinta itu anugrah? Aku ingin hidup dengannya. Tentram. Damai.
Kepada perbedaan, aku berharap, ijinkan kami bersatu. Kami ingin saling menjaga. Menyayangi.
Jika memang tidak, doaku tak pernah terputus olehnya. Dan kau akan tahu penyesalan selalu ada di pundakku. Meski aku hidup dengan yang lain. Penyesalan dan kesakitan berada di punggung kami.
Kepada Tuhan yang memang satu, aku masih berharap. Jodohkanlah kami di surga. :)
Semoga bunda maria merestui kami. Insha Allah.
-niky-
Sabtu, 26 Juli 2014
Rabu, 16 Juli 2014
lalu?
Akan ada rasanya kau bolak-balik memeriksa handphone dan berharap ada sebuah pesan masuk dari seseorang yang kau tunggu. Yang kau cintai.
Akan ada rasanya ketika kau membuka facebook dan berharap dia sedang online atau paling tidak dia mengomentari statusmu. Memberimu alasan jika tak ada kabar melalui pesan atau telepon. Ia mengabarimu melalui facebook.
Rasa jatuh cintaku saat itu sesederhana itu.
Rasa jatuh cinta yang tak pernah terkalahkan oleh orang-orang baru yang kutemui.
Rasa jatuh cinta yang tak pernah tergantikan.
Rasa jatuh cinta yang mungkin saja tak akan kembali.
Beberapa tahun berlalu dan entah sudah berapa kali berganti pasangan. Dia. Aku. Sama saja.
Rasa itu masih tersisa dan tersimpan di ujung hati. Tak terlalu nampak karena semakin berjalannya waktu, aku menemukan sosok baru dan menempati tempat yang pertama kali dikunjungi olehnya. Perasaanku baginya harus rela berbagi tempat dengan sosok-sosok baru. Perasaan lama yang terhimpit dan semakin mengecil.
Tak ada yang lebih menyedihkan saat kau harus melepaskan karena sebuah keterpaksaan.
Ia tak ingin menyakitiku semakin dalam, katanya.
Lalu kenyataan mengatakan, bertahun-tahun berlalu dan rasa sakit semakin menjadi.
Saat aku tak sengaja bertemu dengannya.
Saat aku tak sengaja menemukannya di akun social media.
Saat aku ingin tidur dan tiba-tiba bayangannya menghantui.
Tak ada yang kalah menyeramkan dihantui oleh masa lalu yang tak ingin kau lepaskan.
Tapi harus kau lepaskan. Harus.
Lalu, setelah bertahun-tahun berlalu. Yang kunantikan adalah sebuah pertemuan.
Makan malam, mungkin?
Hahaha, kita akan memakan kenangan. Kau mungkin akan tertawa, dan aku juga. Tetapi, ingatlah aku masih akan menangisinya.
Entah sekeasal apakah dirinya saat itu. Tak pernah lagi ada penjelasan yang pasti.
Kau tahu apa yang lebih menyebalkan daripada sesuatu yang tidak pasti?
Iya, saat kau harus mengakhiri hubungan dengan alasan yang tak pasti pula.
Saat itu, pertama kaliku mengerti; aku membenci ketidakpastian.
Saat tak sengaja membaca pesan-pesan lama, di sana tersimpan sebuah harapan kecil. Akankah kembali?
Akankah ada kesempatan?
Akankah ada pertemuan dan kita berpesta masa lalu?
Lalu kau kembali?
Lalu aku berjanji menjadi orang yang tak pernah menyesal lagi. Beberapa tahun, doa dan harapanku selalu sama:
Kau akan baik-baik saja sampai kau kembali. Aku rumah yang tak pernah melupakan kenangan. Dan aku berjanji, kau akan mengingat semuanya.
Jadi, masa lalu, aku kembali menjadi masa depan.
Masa lalu, aku masa depan, yang ingin menjakmu (kembali) berdamai.
Akan ada rasanya ketika kau membuka facebook dan berharap dia sedang online atau paling tidak dia mengomentari statusmu. Memberimu alasan jika tak ada kabar melalui pesan atau telepon. Ia mengabarimu melalui facebook.
Rasa jatuh cintaku saat itu sesederhana itu.
Rasa jatuh cinta yang tak pernah terkalahkan oleh orang-orang baru yang kutemui.
Rasa jatuh cinta yang tak pernah tergantikan.
Rasa jatuh cinta yang mungkin saja tak akan kembali.
Beberapa tahun berlalu dan entah sudah berapa kali berganti pasangan. Dia. Aku. Sama saja.
Rasa itu masih tersisa dan tersimpan di ujung hati. Tak terlalu nampak karena semakin berjalannya waktu, aku menemukan sosok baru dan menempati tempat yang pertama kali dikunjungi olehnya. Perasaanku baginya harus rela berbagi tempat dengan sosok-sosok baru. Perasaan lama yang terhimpit dan semakin mengecil.
Tak ada yang lebih menyedihkan saat kau harus melepaskan karena sebuah keterpaksaan.
Ia tak ingin menyakitiku semakin dalam, katanya.
Lalu kenyataan mengatakan, bertahun-tahun berlalu dan rasa sakit semakin menjadi.
Saat aku tak sengaja bertemu dengannya.
Saat aku tak sengaja menemukannya di akun social media.
Saat aku ingin tidur dan tiba-tiba bayangannya menghantui.
Tak ada yang kalah menyeramkan dihantui oleh masa lalu yang tak ingin kau lepaskan.
Tapi harus kau lepaskan. Harus.
Lalu, setelah bertahun-tahun berlalu. Yang kunantikan adalah sebuah pertemuan.
Makan malam, mungkin?
Hahaha, kita akan memakan kenangan. Kau mungkin akan tertawa, dan aku juga. Tetapi, ingatlah aku masih akan menangisinya.
Entah sekeasal apakah dirinya saat itu. Tak pernah lagi ada penjelasan yang pasti.
Kau tahu apa yang lebih menyebalkan daripada sesuatu yang tidak pasti?
Iya, saat kau harus mengakhiri hubungan dengan alasan yang tak pasti pula.
Saat itu, pertama kaliku mengerti; aku membenci ketidakpastian.
Saat tak sengaja membaca pesan-pesan lama, di sana tersimpan sebuah harapan kecil. Akankah kembali?
Akankah ada kesempatan?
Akankah ada pertemuan dan kita berpesta masa lalu?
Lalu kau kembali?
Lalu aku berjanji menjadi orang yang tak pernah menyesal lagi. Beberapa tahun, doa dan harapanku selalu sama:
Kau akan baik-baik saja sampai kau kembali. Aku rumah yang tak pernah melupakan kenangan. Dan aku berjanji, kau akan mengingat semuanya.
Jadi, masa lalu, aku kembali menjadi masa depan.
Masa lalu, aku masa depan, yang ingin menjakmu (kembali) berdamai.
Langganan:
Komentar (Atom)