“Ken!”
“ya, kenapa?” kataku, ketika salah satu teman berteriak dan
berlari ke arahku.
“katanya kamu bisa karate ya? Lihat dong, lihat!”
Aku mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepala tanda
sedang bingung, kenapa tiba-tiba temanku memintaku untuk menunjukkan karate di
depannya.
Dia memaksaku untuk menunjukkan karate di depannya. Mau
enggak mau aku harus menunjukkan kepadanya. aku terdiam beberapa saat, karena
aku sudah lupa dengan katak dalam karate.
“bentar ya, Put. Aku agak lupa sama katak-katak itu.”
Aku mencoba mengingat katak dalam karate, lalu
mempraktekannya di depan Putri. Kebetulan suasana kelas sedang sepi jadi aku
tidak harus malu karena dikira sedang berlaku bodoh lagi.
Aku mempraktekkan katak 1 dan katak 2 sambil sesekali lupa.
Tapi tidak apa, toh Putri tidak tahu dimana letak salahnya, kataku dalam hati.
Kelasku terbuka lebar, dan jendela yang bebas dapat dilihat
dari luar tanpa gangguan. Kelas yang lumayan strategis, karena siswa-siswa yang
lain kalau ingin pergi ke kantin pasti melewati kelasku.
Tak lama ketika aku sedang mempraktekkan katak dalam karate,
tiba-tiba Putri mendadak sumringah. Tak lama kemudian..
“kamu bisa karate?” tiba-tiba terdengar suara laki-laki
mengagetkanku.
Aku menoleh secara perlahan dan pasti. Dan terkaget ketika
melihat di belakangku ada dia, orang yang ku kagumi selama 3 tahun ini. Awan.
“hey, hello?” awan melambaikan tangannya di depan mukaku.
Dan kemudian ku mulai tersadar bahwa ini bukan mimpi.
“oh, maaf. Tadi
kenapa, ya? Karate? Oh karate ya?” aku gugup. Salah tingkah terlihat jelas
dalam diriku. Mampus, kataku dalam hati.
Awan tertawa kecil lalu berkata, “iya, karate. Kamu bisa
karate?”
“bisa dong! Tapi dulu. Emang kenapa?”
“dulu? Enggak sih, aku Cuma nanya.”
“iya, waktu masih smp. Itupun sampai sabuk kuning. Enggak
lanjut sabuk hijau. Eh, kamu kan guru karate ya?”
Awan mengangguk sambil tersenyum.
“wah, mau dong di ajarin karate lagi!” tanpa sadar mulutku
tidak berhenti berkata. Bodoh, bodoh! kenapa sih aku cerewet banget? Kelihatan
kan kalau salah tingkah. Duh.
“yuk, kapan mau? Hahaha.”
“uhuk, uhuk, aku juga mau sih ikut.” Putri tanpa aba-aba
lalu berkata seperti itu.
“yuk, semuanya ikut! Hahaha”
Aku menyenggol Putri tanda tak setuju. Toh dia tahu kan aku
suka Awan. Dia pasti akan menggagalkan rencana disana. Dia adalah tipe cewek
yang cepat bosan. Sedikit-sedikit minta pulanglah, apalah.
“besok ya, Wan? Gapapa, nih? Umm, Pacarmu?” tanyaku
hati-hati.
“udah, gausah dipikirin, beres.”
Kita janjian di sekolah sore harinya.
Benar juga Awan sudah tiba di sekolah memakai seragam
karate. Dia memakai sabuk hitam. Sabuk hitam menyatakan dia sudah menjadi guru.
Aku yang datang memakai seragam karate dengan memakai sabuk
kuning menatapnya ngeri. Dia disana sudah sibuk berlatih sendirian. Tuhan, apa
ini pilihan yang benar?
Aku menyapanya dan memulai pemanasan sebelum masuk ke dalam
latihan. Dia mengajariku karate dan mengingatkan setiap katak yang pernah aku
pelajari. Dia lembut tapi keras. Lemubut dari caranya berbicara namun keras
dalam mengajariku.
Aku semakin kagum dibuatnya, tak percaya aku sedang belajar
karate dan hanya berdua dengannya. Tak pernah terbayang di dalam otakku
bersamanya, hanya berdua. Tuhan memang selalu memberiku kejutan tak terduga.
Tak lama ketika sedang asiknya belajar, tiba-tiba di
kagetkan dengan sesosok perempuan dengan rambut yang sengaja di ikat setengah.
Ia berjalan dengan tergesa-gesa lalu menghampiri kami. Aku terdiam dan bingung.
Iya, dia adalah kekasih Awan. Kugy.
“awan! Kamu kok tega sih ninggalin aku? Blablabla..”
Aku memilih menjauh dari mereka. Aku tidak tahu apa yang
mereka ributkan. Lalu aku mengemasi peralatanku dan bergegas pulang. Aku tidak
pamit ke Awan. Ku biarkan dia beradu pendapat kembali dengan kekasihnya itu.
Keesokan harinya. Awan menghampiri kelasku ketika aku sedang
sibuk membaca novel dan memakai earphone. Sedang asyiknya menyanyi dan membaca,
dia menyolekku.
“Ken..”
“hah? Eh, iya, Wan?” kataku yang kaget melihatnya.
“maaf ya soal tragedi kemarin. Maaf banget.” Kata Awan yang
sedikit memelas.
“iya, gapapa kok. Santai aja lagi. hahaha” kataku
berpura-pura tidak apa-apa.
“kapan-kapan kita latihan lagi, ya. Aku ke kelas dulu ya,
Ken.”
“okedeh, bos!” kataku lalu meninju lengannya.
Tak lama kemudian dia berjalan menjauh, menuju kelasnya. Aku
masih di tempatku, melihatnya sampai ia hilang dari penglihatanku. Ah,
seandainya dia tahu betapa aku makin mengaguminya.