Halo, selamat pagi dunia!
Perkenalkan, aku cici, aku seekor burung gereja. Ya, aku
seekor burung. Aku baru saja beberapa bulan yang lalu lahir dan aku kini hidup
mandiri. Ayah dan ibuku telah pergi, menjadi burung-burung yang indah di alam
kekal, menemani dan menghiasi manusia-manusia yang berakhlak baik di dunia.
Mereka menyebutnya; Surga.
Aku baru setiap hari atau paling tidak setiap minggu
berpindah-pindah tempat, hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain.
Kemarin tepatnya aku memutuskan mencari tempat baru. Di
perjalananku di udara, aku melihat dua pohon yang sangat berbeda. Mereka
seperti adik dan kakak.
Aku menebaknya mari kita sebut – pohon tua, ia terlihat
begitu kekar bak manusia yang sering olahraga. Batang pohonnya tebal tak setebal adiknya. Akar-akarnya mencuat dari
tanah, mengerikan. Daun-daunnya mulai berjatuhan. Ya, dia pohon tua yang ku
lihat dia begitu muram.
Aku memutuskan hinggap di pohon satunya, mari kita sebut –
pohon muda. Ia berbeda dengan kakaknya. Ia masih terlihat indah. Daun-daunnya
tak banyak yang menjatuhkan diri. Daun-daun itu sepertinya lebih mencintai
ranting pohon daripada tanah. Pohon ini terlihat sangat ceria.
Tahukah kamu apa yang menjadikan pohon tua itu terlihat
bersedih?
-----
Hai, aku pohon tua. Si burung gereja yang hinggap di tubuh
adikku memanggilku dengan nama itu. Pedih, tapi kenyataannya, ya, aku adalah
pohon tua.
Aku mulai tak semangat saat aku menyadari usiaku menjadi
sangat tua. Aku sungguh iri dengan manusia-manusia yang biasa aku lihat. Mereka
tampak bahagia, tua bersama yang dicintainya. Tak sepertiku.
Aku mendapatkan kabar, pemilikku, yang melahirkan aku di
tanah ini akan menebangku. Ya, karena aku sudah tua. Aku mempunyai banyak
saudara kembar, kau tahu? Mereka ada di tubuhku ini, mereka yang membuatku hidup.
Mereka adalah akar, batang, ranting dan daun.
Aku semakin tak semangat menyerap air, terlihat dari
badanku, aku telah lama menyerap air selama bertahun-tahun, menyimpannya di
dalam tubuhku. Tapi, sekarang aku tak lagi ingin menyerap. Aku mendapatkan kabar
buruk, aku akan segera mati dengan cara yang hina: ditebang.
Sungguh, aku ingin mati dengan caraku sendiri, kekeringan
atau patah karena hembusan angin yang kencang. Saudara kembarku – daun mulai
belajar mencintai yang lain.
Daun-daunku tak pernah mengenal tanah sebelumnya, sebelum
labar itu sampai.
Daun-daunku tak terlalu mengenal tanah seperti ia
mengenalku, tapi ia perlahan menjatuhkan diri ke tanah.
Ranting-ranting pohon itu mulai ikut mencintai tanah. Mereka
kurus dan patah. Akhirnya mereka ikut pula menjatuhkan diri ke tanah, tentu
saja dengan bantuan angin.
Aku sekarang hanyalah sebatang pohon tua yang meratapi
saudara-saudaraku pergi menghadap tanah lalu ke alam baka terlebih dahulu,
bukan bersamaku.
Aku yakin tanah adalah sesungguhnya jalan kita menemui-Nya,
Tuhan pemilik dunia fana ini.
Sungguh menyedihkan, tapi aku ingin segera mati
berselimutkan tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar