Rabu, 07 Agustus 2013

burung gereja dan pohon tua


Halo, selamat pagi dunia!
Perkenalkan, aku cici, aku seekor burung gereja. Ya, aku seekor burung. Aku baru saja beberapa bulan yang lalu lahir dan aku kini hidup mandiri. Ayah dan ibuku telah pergi, menjadi burung-burung yang indah di alam kekal, menemani dan menghiasi manusia-manusia yang berakhlak baik di dunia. Mereka menyebutnya; Surga.
Aku baru setiap hari atau paling tidak setiap minggu berpindah-pindah tempat, hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain.
Kemarin tepatnya aku memutuskan mencari tempat baru. Di perjalananku di udara, aku melihat dua pohon yang sangat berbeda. Mereka seperti adik dan kakak.
Aku menebaknya mari kita sebut – pohon tua, ia terlihat begitu kekar bak manusia yang sering olahraga. Batang pohonnya tebal tak  setebal adiknya. Akar-akarnya mencuat dari tanah, mengerikan. Daun-daunnya mulai berjatuhan. Ya, dia pohon tua yang ku lihat dia begitu muram.
Aku memutuskan hinggap di pohon satunya, mari kita sebut – pohon muda. Ia berbeda dengan kakaknya. Ia masih terlihat indah. Daun-daunnya tak banyak yang menjatuhkan diri. Daun-daun itu sepertinya lebih mencintai ranting pohon daripada tanah. Pohon ini terlihat sangat ceria.
Tahukah kamu apa yang menjadikan pohon tua itu terlihat bersedih?
-----
Hai, aku pohon tua. Si burung gereja yang hinggap di tubuh adikku memanggilku dengan nama itu. Pedih, tapi kenyataannya, ya, aku adalah pohon tua.
Aku mulai tak semangat saat aku menyadari usiaku menjadi sangat tua. Aku sungguh iri dengan manusia-manusia yang biasa aku lihat. Mereka tampak bahagia, tua bersama yang dicintainya. Tak sepertiku.
Aku mendapatkan kabar, pemilikku, yang melahirkan aku di tanah ini akan menebangku. Ya, karena aku sudah tua. Aku mempunyai banyak saudara kembar, kau tahu? Mereka ada di tubuhku ini, mereka yang membuatku hidup. Mereka adalah akar, batang, ranting dan daun.
Aku semakin tak semangat menyerap air, terlihat dari badanku, aku telah lama menyerap air selama bertahun-tahun, menyimpannya di dalam tubuhku. Tapi, sekarang aku tak lagi ingin menyerap. Aku mendapatkan kabar buruk, aku akan segera mati dengan cara yang hina: ditebang.
Sungguh, aku ingin mati dengan caraku sendiri, kekeringan atau patah karena hembusan angin yang kencang. Saudara kembarku – daun mulai belajar mencintai yang lain.
Daun-daunku tak pernah mengenal tanah sebelumnya, sebelum labar itu sampai.
Daun-daunku tak terlalu mengenal tanah seperti ia mengenalku, tapi ia perlahan menjatuhkan diri ke tanah.
Ranting-ranting pohon itu mulai ikut mencintai tanah. Mereka kurus dan patah. Akhirnya mereka ikut pula menjatuhkan diri ke tanah, tentu saja dengan bantuan angin.
Aku sekarang hanyalah sebatang pohon tua yang meratapi saudara-saudaraku pergi menghadap tanah lalu ke alam baka terlebih dahulu, bukan bersamaku.
Aku yakin tanah adalah sesungguhnya jalan kita menemui-Nya, Tuhan pemilik dunia fana ini.
Sungguh menyedihkan, tapi aku ingin segera mati berselimutkan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar