Aku hendak tidur. Bukannya aku tidak bisa tidur, hanya otakku selalu cerewet di kala seharusnya ia tidur. Otakku sedang sibuk membuat cerita sendiri. Dan aku mulai menyadari, kalau saja tanpa laptop, ataupun pena dan kertas, aku bisa membuat cerita bahkan sebuah novel. Tersimpan di dalam memori, disebut otak.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi. Dinihari tepatnya.
Aku masih diam di dalam kamar, tapi otakku masih saja cerewet. Ia bahkan lebih
cerewet daripada mulutku ini.
Dalam diam aku menatap meja belajarku. Ia memang tak sebagus
meja belajar seperti punya teman-temanku. Ia sederhana. Sepertiku. Seperti
keluargaku. Dulu.
Ia berwarna kayu. Hei, aku memang tak pandai mendeskripsikan
sebuah warna, teman.
Meja belajarku adalah harta paling lama yang masih singgah
di dalam kamarku. Aku mencintainya seperti halnya aku mencintai keluargaku.
Meja belajar ini adalah keluargaku.
Meja belajar nan sederhana ini aku masih ingat. Tepatnya
tahun 2000, aku masih berada di bangku Taman Kanak-kanak. Masih berada di kota
kelahiranku, kampung halamanku, Malang, Jawa Timur.
Ayahku seorang tentara, saat itu gaji seorang tentara tak
seberapa dibanding gajinya saat ini. Sangat kecil. hidup kami sungguh
sederhana.
Salah satu impianku sedari kecil adalah aku ingin mempunyai
sebuah meja belajarku. Aku, kakak perempuanku, bahkan ibuku sangat menyukai
sinetron atau film di layar kaca. Di layar kaca sering aku melihat anak kecil
sedang menulis, membaca, atau belajar di meja belajar yang terlihat bagus.
Aku bermimpi mempunyai meja belajar. Mimpi seorang anak TK
berumur 5 tahun.
Keesokan harinya, ayahku datang membawa kayu seperti bongkar
pasang mainanku. Tahukah kamu mainan bongkar pasang? Itu adalah mainan yang
sangat lucu, teman. Sebuah kertas karton yang bergambarkan orang, perabotan
rumah, juga pakaian. Di Malang, tempat kelahiranku, menyebutnya bongkar pasang.
Aku menghampiri ayahku yang sedang membongkar kayu-kayu-nan
halus itu. Ada juga sepupuku dari Balikpapan yang kebetulan sedang berkuliah di
Universitas Brawijaya datang membantu. Aku hanyalah seorang anak kecil, yang
menatap heran, apakah ini yang sedang dikerjakan mereka?
Aku berdiri di samping mereka, aku berdiri seperti penutup
pintu luar. Aku tetap dalam diam melihat mereka.
Tak cukup lama mereka memasang ‘itu’ dan baru ku sadari itu
adalah meja belajar. Betapa senangnya diriku ini, teman!
“celukno ibu, ngomong
iki wis mari.” Aku segera berlari menuju rumahku. Mencari ibu dan tak sabar
memanngilnya. aku yakin di dalam pikirannya, ibuku tahu apa yang sedang dalam
pikiranku. Bukankah seorang ibu mempunyai batin yang sama dengan anaknya?
di sini, rumah mbah, aku berdiri dengan ibu, ayah, dan
sepupuku. “gimana?” tanya ayah kepada kami. Aku hanya tersenyum dan berterima
kasih kepada Tuhan.
“ini beneran untuk aku, yah?” tanyaku tak sanggup dalam
diam.
Ayahku pun mengangguk. Akhirnya aku punya meja belajar
pikirku. Bahagia itu sederhana, teman.
Sudah 13 tahun tepatnya aku bersama meja belajar yang
sederhana ini. Sampai kami pindah ke kota ini, Makassar, meja belajar ini tetap
bersamaku. Ia tetap sederhana seperti keluargaku.
Namun, ia juga mulai berkembang sama halnya dengan
keluargaku.
Meja belajarku mulai penuh sesak dengan buku-buku. Entah itu
buku pelajaran, sekolah, atau pun novel dan komik kegemaranku. Aku sudah lama
suka membaca komik dan novel. Aku jadi gemar ke toko buku, kadang membeli
kadang juga berharap buku di dalam sana ada yang bisa menemani meja belajarku.
Aku juga heran, aku seorang perempuan tapi lebih tertarik
membeli buku daripada baju. Aku sering membeli buku novel atau pun komik dengan
uang sendiri, tetapi kalau masalah baju terkadang aku dibelikan orang tuaku.
Itu juga paling lama, hanya saat lebaran tiba. Sungguh, aku jarang sekali
membeli baju daripada buku-buku yang menghiasi meja belajarku.
Sama halnya dengan keluargaku, keluargaku juga semakin
berkembang. Alhamdulillah, hanya itu yang bisa aku ungkapkan. Aku sangat
bersyukur, aku dan keluargaku bisa berkembang, tak terlalu banyak kesusahan
seperti dahulu. Bahkan rumahku saat ini, walau pun rumah dinas-juga
dibayar/dibeli, ia lebih besar dari rumahku terdahulu.
Tapi bagaimana pun, aku dan keluargaku insha Allah tetap
akan menjadi sederhana, seperti meja belajar sederhanaku yang menatapku di
ujung kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar