Rabu, 07 Agustus 2013

Meja Belajar.


Aku hendak tidur. Bukannya aku tidak bisa tidur, hanya otakku selalu cerewet di kala seharusnya ia tidur. Otakku sedang sibuk membuat cerita sendiri. Dan aku mulai menyadari, kalau saja tanpa laptop, ataupun pena dan kertas, aku bisa membuat cerita bahkan sebuah novel. Tersimpan di dalam memori, disebut otak.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi. Dinihari tepatnya. Aku masih diam di dalam kamar, tapi otakku masih saja cerewet. Ia bahkan lebih cerewet daripada mulutku ini.
Dalam diam aku menatap meja belajarku. Ia memang tak sebagus meja belajar seperti punya teman-temanku. Ia sederhana. Sepertiku. Seperti keluargaku. Dulu.
Ia berwarna kayu. Hei, aku memang tak pandai mendeskripsikan sebuah warna, teman.
Meja belajarku adalah harta paling lama yang masih singgah di dalam kamarku. Aku mencintainya seperti halnya aku mencintai keluargaku. Meja belajar ini adalah keluargaku.
Meja belajar nan sederhana ini aku masih ingat. Tepatnya tahun 2000, aku masih berada di bangku Taman Kanak-kanak. Masih berada di kota kelahiranku, kampung halamanku, Malang, Jawa Timur.
Ayahku seorang tentara, saat itu gaji seorang tentara tak seberapa dibanding gajinya saat ini. Sangat kecil. hidup kami sungguh sederhana.
Salah satu impianku sedari kecil adalah aku ingin mempunyai sebuah meja belajarku. Aku, kakak perempuanku, bahkan ibuku sangat menyukai sinetron atau film di layar kaca. Di layar kaca sering aku melihat anak kecil sedang menulis, membaca, atau belajar di meja belajar yang terlihat bagus.
Aku bermimpi mempunyai meja belajar. Mimpi seorang anak TK berumur 5 tahun.
Keesokan harinya, ayahku datang membawa kayu seperti bongkar pasang mainanku. Tahukah kamu mainan bongkar pasang? Itu adalah mainan yang sangat lucu, teman. Sebuah kertas karton yang bergambarkan orang, perabotan rumah, juga pakaian. Di Malang, tempat kelahiranku, menyebutnya bongkar pasang.
Aku menghampiri ayahku yang sedang membongkar kayu-kayu-nan halus itu. Ada juga sepupuku dari Balikpapan yang kebetulan sedang berkuliah di Universitas Brawijaya datang membantu. Aku hanyalah seorang anak kecil, yang menatap heran, apakah ini yang sedang dikerjakan mereka?
Aku berdiri di samping mereka, aku berdiri seperti penutup pintu luar. Aku tetap dalam diam melihat mereka.
Tak cukup lama mereka memasang ‘itu’ dan baru ku sadari itu adalah meja belajar. Betapa senangnya diriku ini, teman!
celukno ibu, ngomong iki wis mari.” Aku segera berlari menuju rumahku. Mencari ibu dan tak sabar memanngilnya. aku yakin di dalam pikirannya, ibuku tahu apa yang sedang dalam pikiranku. Bukankah seorang ibu mempunyai batin yang sama dengan anaknya?
di sini, rumah mbah, aku berdiri dengan ibu, ayah, dan sepupuku. “gimana?” tanya ayah kepada kami. Aku hanya tersenyum dan berterima kasih kepada Tuhan.
“ini beneran untuk aku, yah?” tanyaku tak sanggup dalam diam.
Ayahku pun mengangguk. Akhirnya aku punya meja belajar pikirku. Bahagia itu sederhana, teman.
Sudah 13 tahun tepatnya aku bersama meja belajar yang sederhana ini. Sampai kami pindah ke kota ini, Makassar, meja belajar ini tetap bersamaku. Ia tetap sederhana seperti keluargaku.
Namun, ia juga mulai berkembang sama halnya dengan keluargaku.
Meja belajarku mulai penuh sesak dengan buku-buku. Entah itu buku pelajaran, sekolah, atau pun novel dan komik kegemaranku. Aku sudah lama suka membaca komik dan novel. Aku jadi gemar ke toko buku, kadang membeli kadang juga berharap buku di dalam sana ada yang bisa menemani meja belajarku.
Aku juga heran, aku seorang perempuan tapi lebih tertarik membeli buku daripada baju. Aku sering membeli buku novel atau pun komik dengan uang sendiri, tetapi kalau masalah baju terkadang aku dibelikan orang tuaku. Itu juga paling lama, hanya saat lebaran tiba. Sungguh, aku jarang sekali membeli baju daripada buku-buku yang menghiasi meja belajarku.
Sama halnya dengan keluargaku, keluargaku juga semakin berkembang. Alhamdulillah, hanya itu yang bisa aku ungkapkan. Aku sangat bersyukur, aku dan keluargaku bisa berkembang, tak terlalu banyak kesusahan seperti dahulu. Bahkan rumahku saat ini, walau pun rumah dinas-juga dibayar/dibeli, ia lebih besar dari rumahku terdahulu.
Tapi bagaimana pun, aku dan keluargaku insha Allah tetap akan menjadi sederhana, seperti meja belajar sederhanaku yang menatapku di ujung kamar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar