Jumat, 12 Desember 2014

terhanyut ombak.

Deburan ombak membawa kami ke tempat yang tak pernah berharap kudatangi. Di tempat ini, sepasang kekasih memadu kasih. Melakukan hal yang tak direstui Tuhan, karena mereka belum terikat sehidup semati. Tuhan selalu mengutuk sepasang kekasih yang berbuat tak layak di dalam kegelapan.
Namun, kami tak berniat yang orang lain lakukan di tempat ini. Kami hanya butuh tempat tenang dan nyaman, berbicara berdua. Menghabiskan keluh kesah.
Pernahkah kau bertemu dengan seorang yang tak pernah kau sadari keberadaanya ternyata berarti? Aku merasa berada di dalam novel yang aku baca. Entah apalah judulnya. Aku benar-benar hidup di dalamnya.
Kami bercerita tentang kehidupan tanpa kepastian. Aku menaruh harap sejak setahun lalu, dan ia tak menyadarinya. Aku terlalu lelah memendam, dan kulepaskan saat salah satu teman menyadari ada hal yang aneh dariku.
Seandainya saat itu tak kulepaskan begitu saja.
Ia terlalu mudah untuk bercerita. Ia menyukaiku. Pada minggu pertama kita saling bercakap via text.
Tak ada kabarnya beberapa minggu kemudian.
Lalu ia kembali muncul meminta perhatian. Dan aku makin tak mengerti.
Dan ia kembali menghilang.
Sampai suatu hari aku bertemu dengannya di kampus. Dan ia berusaha mendekatiku kembali. Aku tak ingin kecewa, aku belajar menghindar.
Aku sungguh ingin lupa.
-
Katanya, sunset di sini lebih indah. Bahkan sunrise pun.
Tempat ini kotor, dan jujur, ini pertama kalinya seseorang yang menggantung perasaan berbulan-bulan mengajakku ke tempat ini.
Ia duduk di sampingku. Menatap jauh ke depan. Aku pun.
Kami mulai bercerita. Tentang hal yang membuatku tertekan selama ini.
ia bercerita tentang segala harapannya. Harapan yang tak ingin dia gapai. Karena menganggap semuanya tak akan pernah bisa berubah.
ia menjaga perasaanku, ia menjaga diriku.
“kau terlalu suci untukku. Seseorang yang pernah memilikimu terlalu bodoh melepaskanmu. Aku menyukaimu, dan aku terlalu takut mengambil resiko. Aku tak bisa melihatmu sakit. Aku tak terlalu tega membuat semuanya kacau. Kau terlalu suci.”
Kami, bagaikan dua orang bodoh yang saling menyakiti.
Aku terlalu percaya, ia menjagaku. Kata hatiku selalu benar. Aku tahu ia mencoba membuatku bahagia, dan tak tersentuh sakit olehnya.
Ia sungguh tak ingin menyakitiku.
Ia berjanji ingin menjagaku. Menjadi saudara jauh lebih baik. Katanya.
Kata hatiku tak pernah setuju, kau tahu kau menyayanginya, ia pun. Tapi kau tak bisa bersatu.
Bukankah itu saling menyakiti?
Ia bahkan ingin memendam perasaannya.
Aku berjanji untuk selalu ada. Aku berjanji untuk membawanya ke awal.
Sebagai adik, bukankah aku harus membuatmu bahagia, kak?
Sebagai adik, aku ingin melihatmu lebih baik.
Sekotor apapun dirimu, aku tahu dirimu sebenarnya.
Kau malaikat tanpa sayap yang menjagaku. Terima kasih. Dan aku mencintaimu tanpa henti.
Terhenti sampai aku menemukan lelaki yang lain, yang jauh lebih baik dirimu.
Yang tak sekotor dirimu, katamu.
Yang bisa membawaku bahagia.
Yang lebih sempurna darimu.

Aku mencintaimu, malaikat. Sekotor apapun dirimu di masa lalu.

aku akan ketakutan yang menghantui kita.

Aku takut untuk jatuh cinta lagi di saat aku memperjuangkanmu. Tak maukah kau untuk memperjuangkanku lebih serius lagi? Tahukah kau suatu hari nanti jika tak ada kau lagi, dia bisa mengambil alih posisimu? Iya, di hatiku.
Aku mencintaimu seperti aku kembali mencintai hujan. lama tak kudengar kabarnya, lalu ia kembali membasahi seluruh jalanan yang kulewati.
Aku kembali menemukan cinta saat hujan kembali menyapaku. Aku selalu mencintai hujan, layaknya aku mencintai seseorang yang ada di hatiku saat itu. Kau.
Namun hujan lebih gagah daripada dirimu. Ia selalu punya cara untuk menahanku tak pergi atau beranjak dari kasur. Tentu saja untuk mencarimu dan memandang wajah sayumu.
Tak sadarkah kau jikalau aku tak berani menatapmu? Selalu kualihkan pandangan dan wajahku saat kau berbalik menatapku? Aku takut. Aku taku jatuh lebih dalam ke matamu. Aku takut tatapanmu yang tak pernah kutafsirkan apa artinya.
Sampai suatu hari temanku bercerita, ia melihat matamu yang merah. Kau menemuinya. Kau bertanya dengan suara yang lantang, “apa saja yang kau ceritakan pada Ken? Sehingga ia menghindariku? Aku tak suka caramu. Jangan kau bercerita sembarang!”
Lalu temanku tersadar, itu hanya mimpi.
Tahukah kau mengapa aku seperti menghindar? Tentu saja dengan perlakuanmu yang tak jelas. Suatu hari kau bilang sayang padaku, suatu hari bahkan berhari-hari kau menghilang. Lalu kau muncul lagi dengan membawa harapanmu, katamu, kau ingin diperhatikan. Katamu, aku tak pernah peka. Kataku, kau terlalu banyak menghilang, tak ada sapaan setiap harinya. Sekedar say hello pun tak ada. Lalu aku harus mempehatikanmu? Bagaimana caranya? Aku tak pernah mengerti maumu.
Atau kepalamu pernah menabrak aspal jalanan sehingga kau tak pernah jelas seperti ini?
Tahukah kau mengapa kumenulis ini?
Sesederhana, aku selalu peka, dan kau tak pernah peka. Silahkan kau nikmati tulisan ini, lalu carilah aku, tagihlah aku untuk menjelaskan semuanya.

Aku berjanji aku menjelaskan semuanya.