Senin, 12 November 2012

Fiksi Keramaian


Disinilah aku, di dalam kelas yang situasinya (seperti) terlihat ramai. Beberapa teman sedang asyik mengalunkan gitar dan bernyanyi dengan suka cita, ada juga yang bercerita entah apa, tapi aku diam menghadap kipas angin yang berputar mengelilingi sudut kelas. Kelas ini penuh sesak, dan aku memilih diam dan mencoba mendapat angin agar bisa sedikit tidak gerah.
Seringkali di dalam situasi rame tidak selalu merasa ramai. Seperti saat ini. Aku merasa sendiri disini. Ah, terlihat sangat berlebihan dan mendayu membaca tulisan itu. Tapi, kenyataan memang ada. Jalan hidup siapa yang tahu?
Siapa yang peduli dengan keadaan seseorang? Orang yang terlihat ‘bahagia’ di luar belum tentu ‘bahagia’ di dalam. Terkadang manusia menggunakan topengnya untuk menutupi apa yang dirasakan. Bahkan, aku mengakui topeng itu. Bahkan, aku hanya mampu menuliskan apa yang aku rasakan sekarang ini di tulisan ini. Lucu, bukan? Dan ketika telinga lain tidak dapat menampung dan mendengar cerita, tulisanlah jalan satu-satunya yang akan menunjukkan ceritanya. Kegundahanku.
Membahas kesepian di antara keramaian itu tidak ada habisnya.
Terkadang aku suka iri kepada kelas lain. Kelas yang terlihat kompak. Dan terkadang aku suka membayangkan berada di antara mereka. Lagi-lagi berkhayal. Mungkin akulah si pengkhayal yang hanya diam meratapi khayalannya. Khayalan yang mungkin hanya bisa terwujud di dalam tulisan ini. Tapi itu adalah sebuah fiksi.
Apa yang salah dari seseorang yang menjadi dirinya sendiri? Apa salahnya orang yang ingin ikut berkumpul, tertawa, ceria bersama yang lain? Bahkan ketika aku sedang dirudung masalah, sedang memperdebatkan sesuatu, ada salah satu teman kulihat menertawakanku. Hey, bangun! Yang kamu tertawakan mungkin diam dan sabar, tapi kamu tidak tahu jika ia bisa saja lebih dari kamu.
Iya. Sebutlah aku si pendiam dan penyabar. Bukannya tidak bisa marah, tapi mencoba menahan amarah. Seorang yang dewasa terkadang memilih jalan untuk menahan amarah. Tapi, walaupun begitu kalian tidak bisa menyebutku dewasa.
Suatu saat, jika sudah tiba saatnya si pendiam dan penyabar bisa saja meledakkan amarah yang ditahannya. Diam adalah emas. Dan ketika sedang dijatuhkan, diremehkan atau dihinia, ya, aku diam dan sabar. Tahu diri lebih tepatnya. Tapi, diam dan sabar bukan berarti tidak bisa apa-apa. Ya, suatu saat ledakan itu lebih parah. Berdoa saja, ledakan itu tidak membawa hal buruk mengarah ke kriminal.
Ah, masih sepi. Aku diam memasang earphone, memutar lagu-lagu di dalam album Perahu Kertas kesukaanku. Dan menghadap ke lapangan, melihat (mantan) teman sekelas dulu sedang bermain dengan teman kelasnya sekarang. Mereka terlihat ceria dan seperti bahagia, juga kompak. Sedangkan teman-temanku yang sedari tadi bernyanyi dan bercerita ramai, juga menatap kesana sambil melihat ulah salah satu tetangga kelas yang sedang bermain lucu.
Bahkan sampai sekarang aku masih bingung. Kenapa bisa merasa sepi di antara keramaian? Aku yang harus berubah mengikuti mereka yang mungkin bukan aku. Atau mereka yang salah, yang memandangku sebelah mata? Ah, aku akan tetap begini, menjadi terbaik dan memilih fokus dalam cita-citaku, menjadi penulis. Iya, penulis suatu saat nanti. Hanya itu mungkin mereka akan sadar bahwa aku tidak dapat di pandang sebelah mata.
Keramaian, aku ingin berada di keramaian. Keramaian yang benar keramaian, bersama mereka yang tahu apa arti ramai.
Lebih baik sendiri, tapi merasa tentram. Daripada merasa sendiri di dalam keramaian. Mari sebutlah ini sebuah fiksi keramaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar