Disinilah aku, di dalam kelas yang situasinya (seperti)
terlihat ramai. Beberapa teman sedang asyik mengalunkan gitar dan bernyanyi
dengan suka cita, ada juga yang bercerita entah apa, tapi aku diam menghadap
kipas angin yang berputar mengelilingi sudut kelas. Kelas ini penuh sesak, dan
aku memilih diam dan mencoba mendapat angin agar bisa sedikit tidak gerah.
Seringkali di dalam situasi rame tidak selalu merasa ramai.
Seperti saat ini. Aku merasa sendiri disini. Ah, terlihat sangat berlebihan dan
mendayu membaca tulisan itu. Tapi, kenyataan memang ada. Jalan hidup siapa yang
tahu?
Siapa yang peduli dengan keadaan seseorang? Orang yang
terlihat ‘bahagia’ di luar belum tentu ‘bahagia’ di dalam. Terkadang manusia
menggunakan topengnya untuk menutupi apa yang dirasakan. Bahkan, aku mengakui
topeng itu. Bahkan, aku hanya mampu menuliskan apa yang aku rasakan sekarang
ini di tulisan ini. Lucu, bukan? Dan ketika telinga lain tidak dapat menampung
dan mendengar cerita, tulisanlah jalan satu-satunya yang akan menunjukkan
ceritanya. Kegundahanku.
Membahas kesepian di antara keramaian itu tidak ada
habisnya.
Terkadang aku suka iri kepada kelas lain. Kelas yang
terlihat kompak. Dan terkadang aku suka membayangkan berada di antara mereka.
Lagi-lagi berkhayal. Mungkin akulah si pengkhayal yang hanya diam meratapi
khayalannya. Khayalan yang mungkin hanya bisa terwujud di dalam tulisan ini.
Tapi itu adalah sebuah fiksi.
Apa yang salah dari seseorang yang menjadi dirinya sendiri?
Apa salahnya orang yang ingin ikut berkumpul, tertawa, ceria bersama yang lain?
Bahkan ketika aku sedang dirudung masalah, sedang memperdebatkan sesuatu, ada
salah satu teman kulihat menertawakanku. Hey, bangun! Yang kamu tertawakan
mungkin diam dan sabar, tapi kamu tidak tahu jika ia bisa saja lebih dari kamu.
Iya. Sebutlah aku si pendiam dan penyabar. Bukannya tidak
bisa marah, tapi mencoba menahan amarah. Seorang yang dewasa terkadang memilih
jalan untuk menahan amarah. Tapi, walaupun begitu kalian tidak bisa menyebutku
dewasa.
Suatu saat, jika sudah tiba saatnya si pendiam dan penyabar
bisa saja meledakkan amarah yang ditahannya. Diam adalah emas. Dan ketika
sedang dijatuhkan, diremehkan atau dihinia, ya, aku diam dan sabar. Tahu diri
lebih tepatnya. Tapi, diam dan sabar bukan berarti tidak bisa apa-apa. Ya,
suatu saat ledakan itu lebih parah. Berdoa saja, ledakan itu tidak membawa hal
buruk mengarah ke kriminal.
Ah, masih sepi. Aku diam memasang earphone, memutar
lagu-lagu di dalam album Perahu Kertas kesukaanku. Dan menghadap ke lapangan,
melihat (mantan) teman sekelas dulu sedang bermain dengan teman kelasnya
sekarang. Mereka terlihat ceria dan seperti bahagia, juga kompak. Sedangkan
teman-temanku yang sedari tadi bernyanyi dan bercerita ramai, juga menatap
kesana sambil melihat ulah salah satu tetangga kelas yang sedang bermain lucu.
Bahkan sampai sekarang aku masih bingung. Kenapa bisa merasa
sepi di antara keramaian? Aku yang harus berubah mengikuti mereka yang mungkin
bukan aku. Atau mereka yang salah, yang memandangku sebelah mata? Ah, aku akan
tetap begini, menjadi terbaik dan memilih fokus dalam cita-citaku, menjadi
penulis. Iya, penulis suatu saat nanti. Hanya itu mungkin mereka akan sadar
bahwa aku tidak dapat di pandang sebelah mata.
Keramaian, aku ingin berada di keramaian. Keramaian yang
benar keramaian, bersama mereka yang tahu apa arti ramai.
Lebih baik sendiri, tapi merasa tentram. Daripada merasa
sendiri di dalam keramaian. Mari sebutlah ini sebuah fiksi keramaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar