Senin, 17 Desember 2012

Terlalu berharap (kamu) pada hujan di bulan Desember ini.


Pagi ini hujan terlihat datang lebih awal. Ah, aku sangat menyukai hujan. Aku adalah sebagian orang yang menjadikan moment hujan sangat berkesan. Setitik demi setitik hujan yang turun itu penuh makna. Bagi sebagian orang, hujan dijadikan sarana untuk menghabiskan waktu dengan orang terkasih, saling menghangatkan satu sama lain. Tapi aku? Hahaha aku sibuk memperhatikan hujan. Tahukah kamu kalau aku berharap (kamu) pada hujan? Tidak, kamu tidak akan pernah tahu.
Siangnya aku habiskan dengan tidur siang. Suara hujan diluar rumah masih terdengar menyapaku dengan hangat. Hujan, aku mau istirahat dulu. Selain hati, tubuhku merasa lelah, sendirian menatapmu. Berharap yang tidak pasti kepadamu. Menantikan dia yang seharusnya menemaniku menatapmu, menantikan dia yang ada disampingku menghangatkanku. Tapi.. kamu sudah tahu jawabannya kan, hujan?
Menarik selimut dan hampir menutupi seluruh tubuhku. Memasangkan dua lembar ketimun dan meletakannya di kedua mataku. Aku tertidur. Hujan, aku berharap kamu diluar sana menyampaikan harapanku kepadanya.
Malam yang tak ku sangka. Aku sedang berada di sebuah coffeeshop pinggir kota, tetap dengan kesendirian dan hanya ditemani oleh laptop yang tidak menyala, sebuah cappucino hangat dan membaca sebuah novel yang baru saja aku beli di toko buku sebelumnya. Gerimis masih terlihat diluar. Sesekali aku menatap keluar, bertanya dalam hati apakah pesanku sudah tersampaikan.
Sampai akhirnya terdengar suara yang menyapaku dengan hangat. Suara yang sudah tak asing bagiku. Suara yang mewarnai hariku, suara yang terkadang membuatku tertawa, suara itu pula yang membuatku bersedih, suara yang kutaruhkan harapan, menjadi kita.
Aku berbalik badan, menatapnya. Bertanya dalam hati, “pesanku sudah sampai?”. Dia tersenyum. hujan mulai turun diluar. Tercium bau khas tanah basah samar-samar menyapa kita. Aku hanya berbicara di dalam hati, “aku menunggumu. Aku berharap kamu dan aku menjadi kita di bulan desember ini. Kamu tidak tahu, kamu adalah alasan utama aku tetap disini, sendiri dan tetap hidup meraih cita-citaku. Kamu terlalu tinggi, terlalu tinggi untuk aku capai. Kamu tahu, sudah berapa lama aku menyerah pada kenyataan? Sudahkah kamu bertanya pada hujan apa saja yang ku harapkan? Apa saja yang aku rasakan? Apa saja yang aku ceritakan padanya tentangmu? Tidak, tentu kamu tidak akan pernah peduli, kan? Kamu saja tidak menyukai hujan.”
Dia membuka percakapan dengan santai. Aku menanyakan sesuatu yang harusnya aku tanyakan daridulu. Aku menanyakan sesuatu tentangnya dengan tidak menyebutkan tokohnya. Aku tahu, kamu tahu tokoh di dalam semua pertanyaan yang aku tanyakan. Aku bertanya akan apa artinya menunggu dan menurutnya tentang menunggu. Dia menjawab dengan serius dan lembut, “kamu lebih baik jangan menunggu kosong. Mengerti?”
Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku tahu maksudnya, artinya aku harus pergi meninggalkanmu bukan? Move on. Pindah hati.
Aku tersenyum terpaksa lalu kemudian tertawa. Semoga dia tidak tahu bahwa itu semua palsu, doaku. “sesungguhnya, ada alasan yang membuatku menunggunya. Bukan hanya satu atau dua, tapi tiga bahkan banyak hal yang menjadi alasanku tetap seperti ini.”
“apa alasan utamamu untuk menunggunya?” tanyanya secara hati-hati. Aku semakin yakin kamu tahu siapa tokoh yang aku bicarakan.
“mimpi dan nyata.” Jawabku dengan pasti. Aku menutup mata, aku ingin menangis. Sejak adanya, mimpiku semakin nyata. Tak ada orang selain dia yang membuatku seperti hidup. Seperti berguna. Seperti dialah satu-satunya orang yang berarti dan mengerti. Mengerti? Tidak selamanya mengerti. Toh dia tidak pernah mengerti apa yang aku rasakan. Sakit. Menunggu. Menangis. Kecewa. Lagi-lagi seperti itu setiap hari. Bukankah bersamamu itu adalah hal yang membahagiakan? Bukan seperti ini, “itu hidupmu, ini hidupku,” seperti katamu saat itu.
“hal lainnya?”
“ada satu hal yang tidak bisa ku jelaskan. Aku malas untuk menjelaskan. Karena terlalu abu-abu.” Aku kemudian menyeruput cappucino yang mulai mendingin.
Dia diam. Mungkin dia tahu maksudku. Di dalam hati aku ingin memberikannya jawabannya.
“dia bilang aku berharga, dia berharap aku tidak pindah tempat dan hati, dia menahanku, dia menahanku karena perbuatannya dulu kepadaku, perlakuan diatas normal yang dilakukan oleh kita yang menjadi sebuah aib, aku tahu itu akal-akalannya agar aku tidak pergi darinya. Tapi sikapnya beda dengan apa yang dia tuliskan, dia ucapkan, dia harapkan tentangku. Dia abu-abu. Aku tidak tahu apa maunya. Sesusah itukah dia berkata dan bersikap, ya kamu berharga.”
Cappucino sudah aku habiskan. Dia masih terdiam. Aku tahu dia mulai berfikir. Aku menaruh laptop ke dalam tas dan merapikan novelku. Saatnya aku pulang. Aku berdiri dan dia masih menatapku dari tempat duduknya. Aku berkata, “aku sudah berada di titik lelah. Seandainya saja aku tidak pernah bertemu dengannya, mendengar janji-janji kosongnya, tidak pernah menyentuhnya dan memperbolehkannya menyentuhku. Seandainya saja.” Air mataku mulai turun. Aku pergi meninggalkannya. Dibalik hujan aku masih berpikir, “apa susahnya berkata yang sesungguhnya? Apa susahnya kamu percaya hatimu? Berharga? Sama seperti semua kata-katamu dulu, itu semua kosong, tidak pernah terwujud. Tidak ada artinya. Kamu tahu arti berharga? Ya, kamu abu-abu.” Lagi-lagi hujan kembali turun dari mataku.
Aku ingat dia berkata, dia tahu aku. Aku fikir, tidak, kamu tidak tahu aku.
Aku tahu kamu sama seperti lainnya. Kata hatimu aku berharga, tapi pandanganmu tidak. Aku tidak secantik yang lainnya. Ya, kamu sama. Memperhatikan seseorang dari luarnya. Tahukah kamu? Aku tidak pernah sepertimu, memperhatikan luar. Aku menyukaimu karena kamu yang membuatku hidup. Kamu yang menjadi satu-satunya yang berarti. Alasan apalagi yang harus kukatakan? Toh cinta tidak memerlukan alasan. Sampai saat ini aku bingung, bodohnya aku tetap begini. Kamu juga bodoh, karena kamu menjadi alasanku.
Kepada hujan aku kembali berharap, cerita ini segera berakhir. Aku berharap berakhir indah, tapi aku tahu semua keputusannya ada pada dia. Aku ingin teriak, aku ingin berkata sejujurnya. Tapi, hujan melarangku. Dia tahu aku akan kecewa.
Mari kembali ke realita. Hujan dan air mata sekarang yang menemaniku. Menghabiskan hariku yang penuh kekosongan dan kesia-siaan karena menunggunya dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar