“Rindu Mario rindu Mario rindu Mario rindu Mari—“ Oh! Tuhan
jangan lagi.
Apa yang baru saja aku gumamkan? ‘dia’ lagi? Oh, Tuhan
jangan lagi.
Maafkan aku.
Untuk apa aku menggumamkan namanya lagi? Untuk apa? Dia yang
melepaskan aku begitu saja, yang juga berkata, dia meninggalkan aku bukan
karena perempuan lain. Tetapi esoknya, aku menemukan dia telah mempunyai
hubungan baru dengan perempuan lain. Harusnya aku tak sudi lagi menyebut
namanya. Ah, sialan!
“Ken! Are you okay?”
Novi, mengguncangkan badanku yang menatap tanpa berkedip ke arah lapangan.
“oh, yes. I’m okay,
Nov. Sorry.” Aku terbangun dari lamunan yang jika dilanjutkan, mungkin
menjadi bumerang bagi pikiranku sendiri.
“yaudah, aku beliin kamu minuman dulu ya? Tunggu sebentar.”
Novi berjalan menuju ke arah kantin, meninggalkanku duduk menyendiri menghadap
lapangan yang kosong. Pertandingan futsal telah usai sepertinya.
Gusti Pangeran, kenapa
lagi aku memikirkan dia? Apa mungkin karena rinduku sudah tak terbendung lagi,
sehingga ia meloncat dan tak tahu diri?
Aku menatap lapangan lagi. Menyendiri di sini sebenarnya
bukan pilihan terbaik. Menyendiri di kamar adalah yang terbaik. Ah, kenapa
semakin melantur? Aku bukan penyendiri!
Novi datang memberiku air mineral. Dia juga membawa keripik
singkong sebagai camilan.
apa ada ya, kata lain selain kata rindu? Aku bosan
menggunakan kata rindu. Rindu, kangen, apa ada kata lain? Sungguh, aku bukan
sedang rindu. Tapi lebih dari kata membosankan ini!
“Nov, kamu pernah nggak sih merasakan rindu?” aku bertanya
tetapi arah mataku tetap kosong menatap lapangan yang kosong. Hanya terlihat
dedaunan kering yang sudah waktunya untuk jatuh ke tanah.
“pernah. Semua orang pernah merasakan rindu. Jatuh cinta itu
sepaket dengan rindu.”
“tapi aku tidak sedang jatuh cinta. Aku sedang merasakan
jatuh. Jatuh cinta itu sakit. Sakit menahan rindu. Aku bahkan jijik menyebut
kata rindu.”
“masih memikirkan dia?” novi melahap keripik singkong yang
sedari tadi tak aku sentuh sedikit pun.
“bukankah aku mengatakan aku tidak sedang jatuh cinta? Itu
berarti aku masih mencintai yang lalu. Aku sudah pernah merasakan jatuh cinta.
Sekarang aku jatuh, sendirian.”
“yang lalu biarkan berlalu, Ken. Dia mungkin sudah bahagia.
Tuhan mungkin sayang kepadamu, maka dari itu dia membuatmu terlepas dari lelaki
brengsek itu.”
“rindu--brengsek! Hahaha.” Aku kembali menatap lapangan
kosong.
Rindu brengsek? Benar juga. Apa aku harus mengganti kata
rindu dengan brengsek saja? Aku brengsek
mario? Hahaha, tidak nyambung. Ah, tak apalah. Aku sudah bosan dengan kata
rindu.
“apa kamu mau mengajariku berpindah hati? Melupakan kata
rindu, maksud aku, brengsek?”
“mari kita coba, Ken. Berdoalah.” Novi tersenyum menatapku.
Aku menyebutnya sahabat sejak pertama kali menginjak sekolah menengah atas ini.
“hey, keripik singkong
untukku mana? Kok habis?”
@nickendewii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar