Keesokan harinya saya mengatur janji dengan Kak Za, saya
ingin melihat pembacaan dan musikalisasi puisi di rotterdam di saat malam. Dan
malam ini saya akan mendengarkan puisi dari Sapardi Djoko Damono dan Joko
Pinurbo. Saya janjian dengan kak Za di saat sore sudah ada disana.
Saya duluan sampai di Rotterdam. Saya duduk di atas motor
saya yang saya parkir di depan rotterdam. Masih menggunakan jacket sekolah,
juga memakai headset. Saya melihat penulis yang baru saja datang, kak Maman.
Saya mau menyapa tapi malu. Saya urungkan. Dan tidak lama, kak Bara keluar dari
pintu rotterdam ditemani beberapa orang. Saya deg-degan. Malu mau menyapa.
Padahal ingin minta ttd, tapi nanti saja, pikirku. Tak lama ada dua orang
perempuan menahannya dan meminta foto lalu mereka meminta ttd. Saya tanpa
basa-basi turun dari motor dan meminta ttdnya. Kak Bara, tidak sadar. Dia tidak
melihatku, dia membuka percakapan tanpa melihatku, “siapa namanya?”
“nicken, kak bara.”
“oh, yang kemarin itu ya?” kak bara tertawa dan langsung
memberiku tanda tangannya.
“hahaha. Iya, kak. Kak Bara masih ingat ternyata.”
“hahaha. Iya dong!”
“hahaha. Asik!” dia memberi buku kata hati yang sudah di
beri tanda tangan olehnya. Saya sempat bertanya apa dia kembali ke sini. Katanya,
dia mau ke radio dulu. Dan kedua perempuan itu mencium tangannya. Dan saya
reflek ikutan.”saya merasa orang tua, kalau dicium tangannya. Hahaha.” Dan
kemudian dia bergabung dengan teman penulisnya yang lain. Saya masih menunggu
kak Za di atas motorku. Kedua perempuan tadi, ada di samping saya. Dia bertanya
apa kak Bara kembali? Mungkin mereka pikir saya akrab dengannya. Hahaha. Akrab
sama penulis keren? Saya jadi besar kepala. Hahaha
.
Kak Za tiba, dan saya langsung menghampirinya. Hari baru
saja mulai gelap, sedangkan acara malam ini belum di mulai. Kami memutuskan
duduk sambil bercerita. Lalu karena mungkin mulai bosan menunggu kami berjalan
menuju stand buku lagi. Niat membeli buku makin galau. Akhirnya saya memutuskan
membeli buku “Kukila” dan kak Za membeli buku pak Sapardi, saya lupa judul
bukunya apa. Dia sempat kecewa tidak bisa membeli buku kak Aan Mansyur yang
sebelum “kukila”, saya lupa juga apa judulnya.
Kami duduk di depan stand buku dan disamping kamu beberapa
volunter sedang makan dan tertawa bersama. Ah, saya ingin ikut. Pasti ramai dan
asik. Menjadi volunter yang juga hobi mereka, berhubungan dengan buku dan
penulis. Siapa yang tidak mau? Hahaha.
Saya melihat buku kukila. Membukanya. Kak Za langsung
berkata, buku kukila ini bagus, apalagi bagian pertamanya. Saya penasaran.
Tapi, nanti saja di rumah di bacanya. Tak berapa lama, kak Aan lewat depan
kami. Saya langsung, deg. Saya sempat bercanda dengan kak Za “kalau sampai saya
tidak dapat tanda tangannya kak Aan, saya bakal bunuh diri di depan rotterdam.
Hahaha!”
Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Acara sudah di mulai. Ada
musikalisasi puisi. Puisi pak Sapardi dinyanyikan. Dan demi apa pun, saya
takjub dengan puisinya. Musikalisasinya juga. Sumpah. Menurutku, orang yang
datang ke sana pasti tidak kecewa. Saya menikmati malam itu.
Saya melihat kak Bara duduk di depan dan sibuk memotret
panggung yang diisi dengan orang yang membawa musikalisasi. Ehem.
Lalu, giliran pak Sapardi maju ke atas panggung. Saya lupa
dengan laki-laki di sampingnya. Dia tinggi dan mempunya brewok. ‘lelaki’ itu
sempat mengatakan jika Pak Sapardi sedang sakit, makanya dia yang akan
membacakan puisinya Pak Sapardi. Dan sebelum dibacakan puisi Pak Sapardi sempat
berkata, jika dia bukannya sedang sakit. Sontak semua tertawa. Lalu dia juga
berkata, kalau dia adalah seorang pemubuat puisi, bukan pembaca puisi. Semua
orang tertawa. Saya dan Kak Za sempat kecewa, karena kami penasaran dengan Pak
Sapardi jikalau dia membacakan puisinya.
Lalu setelah selesai. Berganti dengan Joko Pinurbo. Whoa!
Saya dulu tidak tahu JokPin itu bagaimana. Tapi saya mem-follow twitternya. Dia
maju ke panggung dan tanpa di duga dia seperti membuat malam ini tidak tegang.
Sempat tertawa karena leluconnya. Sempat juga dia berkata, “membuat puisi itu
gampang, kelihatannya.” Sontak semua tertawa lagi. Puisinya juga sumpah demi
apa pun keren dan berbeda. Ya, kalau penasaran, beli bukunya saja ya. Hahaha.
Malam itu saya senang sekali berada di sana.
Tak sampai selesai, kami memutuskan pulang. Saya tidak bisa
sampai selesai acara. Ya, namanya juga anak perempuan. Kami keluar dan ditemani
kak Faisal, teman Kak Za. Dia anak sastra Indonesia Universitas Hasanuddin.
Sempat dia juga mengomentari cara bicaraku, “bahasanya logat. Sudah cocok jadi
mc ini. Hahaha.” Saya tertawa lalu membalas, “saya orang jawa, kak. Makanya
agak logat.” Kami berbicara sambil menunggu Kak Bara yang sepertinya mau
keluar. Dia meladeni foto bareng dengan followersnya. Saya ingin minta foto
lagi. Tapi malu. Saya pikir nanti dia bosan, ketemu saya lagi, saya lagi.
Hahaha.
Malam itu, Rotterdam, sungguh indah sekali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar