Selasa, 24 September 2013

hei yang duduk di depan sana.


Aku mengagumi dia yang duduk di depan.
Setiap pagi pukul sepuluh jam kuliahku. Aku selalu datang tak kurang dari jam sepuluh. Jarak rumah yang sangat dekat, memungkinkanku sedikit bermalas-malasan.
Dan di setiap pagi aku selalu mendapatkan tempat duduk di depan. Di barisan depan atau di baris kedua. Tak pernah aku menyicipi duduk di tengah ataupun di belakang.
Dosen yang sedang bercuap di depan seorang dosen bahasa inggris. Ah, ini adalah pelajaran kesukaanku sedari menginjak sekolah dasar.
Aku duduk di pojokkan kelas tetap di depan, di sampingku duduk teman-temanku yang sudah membuat rencana bersama duduk di kelas yang sama.
Aku tak pernah begitu memperhatikan orang-orang yang ada di kelasku. Aku tak terlalu tertarik mencari muka dengan mereka. Yang banyak ku lakukan mungkin bermain handphone atau bercerita dengan teman-teman yang mengajakku mengobrol.
Tapi, saat aku memalingkan sedikit kepala ke arah samping kananku, aku terpaku. Ada sebauah wajah yang menarik. Begitu manis akan lesung pipinya yang kadang terlihat saat ia tersenyum.
Aku menjadi sering mencuri wajahnya. Siapakah dia? Kenapa baru ku perhatikan? Batinku.
“kamu pilih nomor berapa dan siapa?” dosen di depanku membuyarkan pikiranku.
“err.. dua pak!” kataku dengan sedikit rasa terkejut.
Pemilihan ketua tingkat di kelasku, dan aku tak tahu siapa saja mereka. Yang aku tahu yang dituliskan dosen nomor dua adalah temanku sendiri.
Hanya dua jam mata kuliah dan begitu cepatnya berakhir. aku berjalan ke parkiran bersama teman-temanku. Mereka bercerita tentang kepemilihan ketua tingkat. Dan yang baru aku sadari adalah lelaki itu menjadi kandidatnya.
Kenapa aku tak tahu?
Tapi tak mengapa, ia memegang wakil ketua tingkat di kelasku.
Hello, kamu yang duduk di depan sana. Aku mengagumi (senyuman)mu.

kamu tak berubah.


“kamu tak berubah.” katanya, saat aku membuka pintu rumahku.
Malam ini adalah malam pertama kalinya dia ke rumahku setelah sekian lamanya ia berkuliah di kota orang. Jujur, aku canggung. Dia juga tak berubah.
Jujur saja, aku canggung. Bingung untuk merangkai kata. Suasana rumah seketika hening. Hanya sebuah tatapan mata yang malu-malu berbicara.
“apa kabar dirimu?” katanya, membuka percakapan.
“tidakkah terlihat?”
“kamu tetap cantik.” Dia tersenyum. seketika membuatku terdiam beberapa detik. Aku mati seketika.
Aku menyukai senyuman itu. Merindukan senyuman itu.
Aku meminta ijin kepadanya untuk ke dapur, aku akan membuatkan minuman kesukaannya. Kopi hitam. Dia sangat menyukai kopi buatanku.
“kata orang, perempuan yang pintar membuat kopi itu, sudah pantas dipacari atau dinikahi.” Katanya. Aku tertawa serta mencubit lengannya. Aku tersipu.
“eh, aku beneran.” Sorot matanya berubah tajam menatapku.
Aku menghabiskan malam berdua dengannya. Bertukar cerita dan pengalaman. Setiap tutur katanya aku perhatikan. Dia tak berubah, selalu berhasil membuatku tertawa. Tak percaya, dia adalah sosok paling lama yang berbagi hidup di masa sekolah, masa mencari jati diri.
Dia sosok yang paling membuatku jatuh berkali-kali, tapi semudah itu aku memaafkannya.
Lucu bukan? Putus, nyambung, putus, nyambung, tapi tetap baik dan akrab?
Hahaha, aku bahkan tak ingin kembali mengingat masa itu. Yang aku tahu, sosok di depanku sedang membuatku tak sadar akan perlakuannya dahulu.
Aku pernah membaca di dalam sebuah buku, masa lalu tak perlu disambut dengan mewah, dan aku setuju.
Masa lalu datang dengan kesederhanaan, sekuat apapun untuk menolaknya, ia akan tetap kembali. Aku lelah untuk menolaknya, dan aku biarkan saja. Sampai akhirnya, ia, yang menorehkan kenangan datang dengan masa sekarang. Aku benar-benar lupa akan masa lalu itu.
“aku ingat saat kita ldr...” katanya.
Aku menatapnya, mencoba mengerti kata-kata itu.
“seandainya kita tetap menjalin, mungkin hari ini akan berbeda ya?”
“whatever. Forget it.” Kataku.
Aku memalingkan wajahku ke arah ponselku, di sana tertera sebuah pesan, “sayang, aku kangen.”
“kalau diingat sangat lucu, ya.” Katanya lagi.
Aku tak meresponnya. Aku tak mengerti juga dengan perasaanku.
Toh aku sudah mempunyai kekasih lain.
“Sepertinya aku harus pulang.” Ia berdiri menuju pintu luar, memakai sepatunya di teras rumah. Aku memperhatikan sepatunya. Ia memakai sepatu bermerk namaku.
“cie, sepatunya pakai inisial namaku.” Katanya lagi.
“kurang perhatian apa coba aku memakai sepatu berinisial namamu?” katanya sambil menatapku tajam.
“ke mana saja dirimu baru perhatian?” tanyaku.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia berdiri sambil menjulurkan tangannya dan mengusap kepalaku.
“kamu baik-baik ya sama dia.”
“kamu juga.”
Tak berapa lama, ia menyalakan kendaraan roda duanya. Lalu pergi, dan saat tak ku lihat lagi punggungnya, aku menangis.
Aku rindu.

sebuah mimpi malam di Yogya.


Aku perempuan malam.
Bukan. Lebih tepatnya perempuan yang mulai jatuh cinta dengan malam.
Aku bermimpi berwisata malam di kota Yogya. Berjalan kaki menikmati udara malam. Bergandengan tangan dengan sahabat atau teman.
Bukan lagi kamu.
Aku mencintai malam seperti aku mencintaimu. Dulu.
Aku tak pernah tahu dengan kota Yogya yang kata orang indah. Aku sungguh tak tahu apa yang ada di sana.
Aku hanya tahu ada sebuah kedai kopi yang berhubungan dengan toko buku. Juga sebuah benteng dengan taman yang indah. Aku mengetahuinya dari sebuah novel seorang penulis yang hidup di Yogya.
Aku ingin ke kedai kopi dan benteng itu. Berjalan kaki. Menikmati Yogya di kala malam.
Aku hanya tahu kamu ingin berwisata ke Yogya. Sendirian. Di semester empat. Aku tahu dari kamu yang duduk disampingku, di teras rumah, sambil menikmati hujan. Dulu.
Aku ingin menemanimu di kota yang asing tapi indah itu. Bergandengan tangan. Berdua.
Dan jika itu tak terjadi, aku masih ingin berjalan dan tertawa dengan sahabatku atau mungkin sendirian. Menikmati Yogya di kala malam.
Aku ingin pergi berjalan-jalan di Yogya, sejauh mungkin, dan berharap dapat melupakan kenangan yang sering terputar seenaknya di kepala ini.
Aku ingin menemukanmu di sana. Apakah kamu kelak benar-benar tersesat?