“kamu tak berubah.” katanya, saat aku membuka pintu rumahku.
Malam ini adalah malam pertama kalinya dia ke rumahku
setelah sekian lamanya ia berkuliah di kota orang. Jujur, aku canggung. Dia
juga tak berubah.
Jujur saja, aku canggung. Bingung untuk merangkai kata.
Suasana rumah seketika hening. Hanya sebuah tatapan mata yang malu-malu
berbicara.
“apa kabar dirimu?” katanya, membuka percakapan.
“tidakkah terlihat?”
“kamu tetap cantik.” Dia tersenyum. seketika membuatku
terdiam beberapa detik. Aku mati seketika.
Aku menyukai senyuman itu. Merindukan senyuman itu.
Aku meminta ijin kepadanya untuk ke dapur, aku akan
membuatkan minuman kesukaannya. Kopi hitam. Dia sangat menyukai kopi buatanku.
“kata orang, perempuan yang pintar membuat kopi itu, sudah
pantas dipacari atau dinikahi.” Katanya. Aku tertawa serta mencubit lengannya.
Aku tersipu.
“eh, aku beneran.” Sorot matanya berubah tajam menatapku.
Aku menghabiskan malam berdua dengannya. Bertukar cerita dan
pengalaman. Setiap tutur katanya aku perhatikan. Dia tak berubah, selalu
berhasil membuatku tertawa. Tak percaya, dia adalah sosok paling lama yang
berbagi hidup di masa sekolah, masa mencari jati diri.
Dia sosok yang paling membuatku jatuh berkali-kali, tapi
semudah itu aku memaafkannya.
Lucu bukan? Putus, nyambung, putus, nyambung, tapi tetap
baik dan akrab?
Hahaha, aku bahkan tak ingin kembali mengingat masa itu.
Yang aku tahu, sosok di depanku sedang membuatku tak sadar akan perlakuannya
dahulu.
Aku pernah membaca di dalam sebuah buku, masa lalu tak perlu
disambut dengan mewah, dan aku setuju.
Masa lalu datang dengan kesederhanaan, sekuat apapun untuk
menolaknya, ia akan tetap kembali. Aku lelah untuk menolaknya, dan aku biarkan
saja. Sampai akhirnya, ia, yang menorehkan kenangan datang dengan masa sekarang.
Aku benar-benar lupa akan masa lalu itu.
“aku ingat saat kita ldr...” katanya.
Aku menatapnya, mencoba mengerti kata-kata itu.
“seandainya kita tetap menjalin, mungkin hari ini akan
berbeda ya?”
“whatever. Forget it.” Kataku.
Aku memalingkan wajahku ke arah ponselku, di sana tertera
sebuah pesan, “sayang, aku kangen.”
“kalau diingat sangat lucu, ya.” Katanya lagi.
Aku tak meresponnya. Aku tak mengerti juga dengan
perasaanku.
Toh aku sudah mempunyai kekasih lain.
“Sepertinya aku harus pulang.” Ia berdiri menuju pintu luar,
memakai sepatunya di teras rumah. Aku memperhatikan sepatunya. Ia memakai
sepatu bermerk namaku.
“cie, sepatunya pakai inisial namaku.” Katanya lagi.
“kurang perhatian apa coba aku memakai sepatu berinisial
namamu?” katanya sambil menatapku tajam.
“ke mana saja dirimu baru perhatian?” tanyaku.
Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia berdiri sambil menjulurkan
tangannya dan mengusap kepalaku.
“kamu baik-baik ya sama dia.”
“kamu juga.”
Tak berapa lama, ia menyalakan kendaraan roda duanya. Lalu
pergi, dan saat tak ku lihat lagi punggungnya, aku menangis.
Aku rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar