Senin, 09 Desember 2013

coba katakan saja


Halo, selamat malam. Apa kabar tentang perasaan hari ini?
Sebuah tanya terucap dari salah satu teman, “apa kau benar mencintainya?”
Aku hanya heran dan bertanya dalam hati, kenapa dia bertanya seperti itu?
“maksudmu?”
“katakan saja sejujurnya. Mumpung dia berada di sini bersama kita.”
Aku hanya saling tatap dengan lelaki di depanku, teman yang selama aku berada di tempat ini diisukan menjalin hubungan.
“jadi, siapa yang akan mengatakan perasaan duluan?”
Kami masih saling tatap. Bingung.
“kau masih sendiri, kan?” tanyanya ke teman lelakiku itu.
“iya. Karena saya tak ingin menjalin hubungan dulu.” Jawabnya.
“kalau kau?” tanyanya padaku.
“hmm.. iya. Tapi ini maksudnya apa kau ingin aku mengatakan perasaan ke dia?”
“kau pernah cerita tentangnya padaku. Hey, kau tahu? Ken bercerita saat dia ku antar kembali ke kampus setelah mencari tempat untuk acara kita.”
“kau bohong! Aku tak pernah membahasnya. Aku membahas masa laluku.”
“haha, dia bercerita kalau kau begitu memikatnya.”
Aku bingung. Seperti salah tingkah kata temanku. Aku benar difitnah dengannya. Aku tak pernah membahas teman lelakiku ini.
“ah, aku tak habis pikir denganmu. Kenapa kau mencoba memfitnahku.”
“perasaan yang dipendam itu tak enak, ken. Kau jangan jadi munafik. Katakan, sebelum dia mempunyai perempuan lain.”
“kalau pun aku mengatakan perasaan juga tak mungkin, aku memilih kembali dengan masa laluku saja.”
“masa lalu? Haha, ini hanyalah trikmu saja. Tak usah kau pikirkan Ken.”
“tak usah kau pikirkan ucapan Ken. Cobalah kau yang mengatakan perasaan, dia terlihat gengsi. Biasalah perempuan.”
Aku semakin tak memperhatikannya. Aku memilih memainkan handphone. Aku tak peduli, dan juga aku tak begitu tahu apa yang mereka perdebatkan lagi. Aku tenggelam dalam pembicaraan ini.
“sudahlah. Berhenti kau untuk menyuruh kami untuk menyatakan perasaan. Kau tak tahu kami sebenarnya.”
Aku melebarkan tangan menunggu dia meraih tanganku dan menepuknya. Dan aku pun pergi meninggalkan mereka.
Aku makin bingung dengan perasaan ini.

di bawah hujan


Hujan di luar begitu derasnya. Seperti tak peduli ia tetap melangkah. Lebih jauh, semakin jauh, ia tetap bersikeras akan pilihannya. Langit berwarna abu-abu seperti ini adalah kesukaannya. Warna abu-abu yang ia sukai menurutnya sepertinya. Masih bingung untuk memilih. Tapi di bawah guyuran hujan seperti ini ia tetap melangkah, mencari tujuannya. Ia berfikir sudah saatnya untuk membuat keputusan.
Di jalan seberang, terlihat perempuan yang memegang payung berwarna hitam. Ia seperti menunggu sesuatu. Sebuah pengharapan yang tak kunjung datang. Ia berdiri di bawah kuyuran hujan, memegang payung berwarna hitam yang menutupinya dari kuyuran hujan.
Bukan, ia tak takut jika terkena basah. Ia tak takut akan hujan. tapi, baginya cukup melihat hujan tanpa harus membasahi seluruh badannya.
Lelaki itu masih tetap melangkah di bawah kucuran air hujan yang makin deras. Ia melihat seorang perempuan yang terlihat sedang menunggu sesuatu. Lelaki itu tahu apa yang sebenarnya membuat perempuan itu menanti.
“masih tetap ingin menunggu?”
Perempuan itu tak merespon. Ia menatap lelaki itu dengan tatapan bingung.
“sudahlah. Ia tak akan kembali.”
“mengapa kau bilang begitu?”
Lelaki itu hanya tertawa.
“jangan tertawa!”
“kau pura-pura bodoh? hai, Rain. Dia sudah mati, bahkan badannya telah menyatu dengan tanah.”
Perempuan itu menamparnya. Dengan sedikit terisak dia berkata, “tubuhnya boleh hilang, tapi tak begitu raganya. Dia tetap menyatu.”
“kau begitu mencintainya sekarang. Kau tahu mengapa aku ada di sini menghampirimu?”
Perempuan itu mengerutkan keningnya.
“karena, aku tahu kau diam-diam juga menaruh harapan kepadaku. Menggantikannya.”
Perempuan itu terdiam.
“maaf, kalau aku terlambat menghampirimu.” Lanjutnya.
Perempuan itu tak percaya akan lelaki yang ia temui sekarang. Ia telah lama menaruh harapan menunggunya datang menggantikan yang lalu. Tapi, ia tak terlalu percaya diri dan memilih tinggal di masa lalunya. Seperti contohnya, sekarang ia berdiri di bawah payung di bawah kucuran air hujan.
Tak banyak kata yang terlontar lagi. Hanya suara air hujan yang menemani mereka berdua, saling berbicara dengan hati masing-masing.

masih seperti..


seperti malaikat, aku menyadari sosok di depanku bukanlah malaikat. Tapi entahlah, dia seperti malaikat. Bahkan alam khayalku menyadarkanku bahwa dia bukan malaikat, ia tak memiliki sayap. Dia manusia!
Dia berdiri di depanku. Kedua tangannya ia sembunyikan di balik badannya. Aku menaruh curiga dengannya.
Buku-buku yang berserakan di sebelahku tak ku perhatikan. Aku masih duduk diam terpaku. Apa yang kau akan berikan padaku? Tanyaku dalam hati.
“aku ingin kau memilih satu diantara keduanya.” Dia mengeluarkan tangannya yang menggenggam dua gelas yang berbeda warna. Sebelah kanan berisi cairan berwarna hitam pekat, dan sebelah kiri warna putih – sepertinya itu adalah air putih biasa.
Aku tak mengerti.
“aku ingin kau memilih di antara dua gelas berbeda ini. aku mencintaimu, kau tahu itu. Aku ingin tahu jawabanmu, apakah kau (masih) mencintaiku juga.”
“maksudmu?”
“jika kau pilih air yang berwarna putih ini, berarti kau benar mencintaiku. Kalau yang hitam, ya, aku tahu. Aku akan pergi.”
Aku masih setia duduk melantai, masih memegang buku yang aku baca tadi. Buku-buku yang berserakan masih tetap menemaniku yang masih diam.
Dia menurunkan badannya, menaruh kedua gelas itu ke lantai. Ia membereskan buku-bukuku yang berserakan.
“sekarang waktumu untuk memilih.”
Aku tak diam, aku akan memilih, agar drama ini segera berakhir.
Aku tahu pasti apa perasaanku sebenarnya.
Saat aku akan mengambil sebuah gelas hitam pekat itu, malah tumpah, jatuh mengenai buku yang kubaca tadi.
Lelaki di depanku tersenyum. dia tak marah sama sekali dengan pilihanku.
“harusnya aku tahu, kau benar ingin pergi dariku.” Katanya.
“nanti aku akan membelikanmu buku yang sama sebagai pengganti buku yang terkena noda ini.” lanjutnya, sebelum mengambil buku yang ku baca tadi. Ia berdiri lalu pergi entah ke mana.
Kau tetap malaikat yang sabar untukku, tapi tak mudah untuk kembali bagiku.