seperti malaikat, aku menyadari sosok di depanku bukanlah
malaikat. Tapi entahlah, dia seperti malaikat. Bahkan alam khayalku
menyadarkanku bahwa dia bukan malaikat, ia tak memiliki sayap. Dia manusia!
Dia berdiri di depanku. Kedua tangannya ia sembunyikan di
balik badannya. Aku menaruh curiga dengannya.
Buku-buku yang berserakan di sebelahku tak ku perhatikan.
Aku masih duduk diam terpaku. Apa yang kau akan berikan padaku? Tanyaku dalam
hati.
“aku ingin kau memilih satu diantara keduanya.” Dia mengeluarkan
tangannya yang menggenggam dua gelas yang berbeda warna. Sebelah kanan berisi
cairan berwarna hitam pekat, dan sebelah kiri warna putih – sepertinya itu
adalah air putih biasa.
Aku tak mengerti.
“aku ingin kau memilih di antara dua gelas berbeda ini. aku
mencintaimu, kau tahu itu. Aku ingin tahu jawabanmu, apakah kau (masih)
mencintaiku juga.”
“maksudmu?”
“jika kau pilih air yang berwarna putih ini, berarti kau
benar mencintaiku. Kalau yang hitam, ya, aku tahu. Aku akan pergi.”
Aku masih setia duduk melantai, masih memegang buku yang aku
baca tadi. Buku-buku yang berserakan masih tetap menemaniku yang masih diam.
Dia menurunkan badannya, menaruh kedua gelas itu ke lantai.
Ia membereskan buku-bukuku yang berserakan.
“sekarang waktumu untuk memilih.”
Aku tak diam, aku akan memilih, agar drama ini segera
berakhir.
Aku tahu pasti apa perasaanku sebenarnya.
Saat aku akan mengambil sebuah gelas hitam pekat itu, malah
tumpah, jatuh mengenai buku yang kubaca tadi.
Lelaki di depanku tersenyum. dia tak marah sama sekali
dengan pilihanku.
“harusnya aku tahu, kau benar ingin pergi dariku.” Katanya.
“nanti aku akan membelikanmu buku yang sama sebagai
pengganti buku yang terkena noda ini.” lanjutnya, sebelum mengambil buku yang
ku baca tadi. Ia berdiri lalu pergi entah ke mana.
Kau tetap malaikat yang sabar untukku, tapi tak mudah untuk
kembali bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar