Rabu, 07 Agustus 2013

sorot mata.


Sorot mata itu. Sorot mata yang tak ku kenali dan memancing diri untuk mengenalinya.
Sorot mata itu begitu tajam, setajam atau sepedih kisah hidupnya.
Sorot mata itu menyimpan sesuatu yang orang disekitarnya pun tak mengetahuinya.
Sorot mata itu begitu indah untuk menarikku mengenalinya.
Sorot mata itu begitu pedih bila aku masuk dalam ruang ceritanya.
Sorot mata itu begitu kosong. Kosong ditinggal pemiliknya dahulu.
Sorot mata itu seperti menginginkanku merapikan ruang kosong itu.
Dari sorot mata itu ia yang berada di depanku tak perlu banyak bicara, aku dapat mengenalinya. Memahaminya.
-----
Ia lelaki yang tak ku kenal. Ia duduk menyendiri di antara kerumunan manusia yang sibuk mencari kesibukan. Ia lelaki yang menarikku untuk mengenalinya.
Halte bus, di sini aku menemukannya duduk menatap jalanan. Aku tak mempunyai kegiatan apa pun untuk hari ini. dan aku tertarik melihatnya yang melihat jalanan raya.
Aku menunggu dia menaiki bus. Pemikiranku mengatakan ia menunggu sebuah bus untuk mengangkutnya menuju tempat yang akan ia tuju. Bukankah itu adalah fungsi halte bus?
Ia tak menyadari keberadaanku, sepertinya. Ia terus memperhatikan jalanan. Apa yang indah dari jalanan, kau tahu? Aku begitu penasaran.
Sorot matanya memandangi jalanan raya yang terkadang padat, terkadang juga lenggang.
Kota ini seperti sudah menjelma ibukota, kau tahu? Padat. Aku benci jalanan padat!
Lima menit dari aku yang berbincang dengan hatiku, sebuah bus berhenti di halte ini. beberapa penumpang bus turun. Di halte ini – aku dan dia tak satu pun berdiri dan memasuki bus itu.
Apa yang ditunggu dengan lelaki ini?
Aku melihat sorot matanya yang begitu indah, ia menatap bus seperti penuh dengan harap. Oh ya, aku lupa, saat bus berhenti sorot matanya sontak berubah ceria.
Namun saat bus kembali melaju, sorot matanya berubah sendu. Ia melihat kamera yang ia gantung di lehernya. Seperti mencari gambar sesuatu.
Dengan sorot matanya, ia membidik jalanan raya melalui kamera. Aku bahkan yakin ia adalah seorang fotografer. Terlihat dari caranya memegang kamera dan membidik kamera.
Karena aku dulu sangat suka menjadi objek lelakiku, aku suka dipotret dengan dia yang juga adalah fotografer. Ah, masalalu biarlah menjadi masalalu. Kalau memang masalalu akan datang, aku akan membiarkannya, biar saja hatiku yang memilihnya untuk masuk atau menolaknya.
Hei, kembali ke lelaki ini. ia masih duduk berdiam diri dengan sorotan mata yang tajam. Dan juga aku masih duduk berdiam menatapnya yang sedang menatap jalanan raya seperti penuh harap.
-----
Aku berada di sini lagi. Halte bus ini masih sama seperti dahulu. Halte bus ini menjadi satu-satunya tempatku untuk mencari objek.
Hahaha, aku mencari objekku yang sama, perempuan yang menjadikanku hidup. Tetapi setelah ia menjadikanku hidup, ia lalu mati. Mati dalam kehidupanku. Mati dalam dunia. Meninggal dunia.
Halte bus ini menjadi saksi bisu akan kejadian itu.
Maukah kau sebentar saja mendengar ceritaku? Hahaha, hatiku sedang penat, aku ingin menumpahkan ceritaku.
Saat itu malam begitu indah. Ia memintaku menjemputnya yang sedang lembur di kantornya. Aku menyalakan kendaraan roda duaku, membawanya melaju menjemput bidadari hatiku. Tak lupa aku membawa kameraku. Ya, kami mengatur janji untuk menghabiskan malam dengan mengabadikan kenangan.
Aku menjemputnya lalu membawanya ke sebuah halte bus yang sedang kosong. Siapa yang akan berada di sini pukul dua belas malam?
Sengaja ku pilih tempat ini, aku ingin mengambil tema malam. Aku tahu dia sangat menyukai malam.
Ia menyukai malam tapi ia tak menjadi perempuan nakal seperti yang kalian pikir.
Ia begitu rajin sembahyang. Rajin ke gereja. Ia baik, seperti malaikat. Cantik seperti bunda maria. Ya, dia menceritakanku apa dan siapa sosok bunda maria. Karena, aku adalah seorang muslim yang tak tahu agamanya.
Malam ini, ia begitu cantik. Memakai pakaian kerjanya, ya, ia seorang sekretaris. Rambutnya yang ia urai tak panjang juga tak pendek. Rambutnya bergelombang indah seperti awan yang sering kalian lihat. Ia bidadariku.
Aku suka sorot matanya. Aku bahkan bisa menebaknya lewat sorot matanya yang indah.
Dari sorot mata itu ia yang berada di depanku tak perlu banyak bicara, aku dapat mengenalinya. Memahaminya.
Naas, singkat saja ku ceritakan. Harusnya tak ku pinjamkan kameraku ini kepadanya. ia meminjam kameraku karena keinginannya untuk belajar menjadi diriku – fotografer.
Ku lepaskan ia yang ingin belajar sendiri. Jalanan telah sepi, tapi tak sesepi hatiku saat itu. Aku berubah menjadi objek fotonya. Aku duduk di halte bus kosong ini, ia yang mungkin berfikir tak akan ada kendaraan akan melewati jalanan ini, lalu ia berdiri di jalanan raya. Sambil menggodaku, ia mengambil gambar diriku lewat kameraku. Namun, saat ia berhasil mendapatkan gambarku yang indah, ia tertabrak sebuah bus yang sungguh aku ingin mengutuknya!
Bidadariku yang putih kini bersimbah darah. Ia tersenyum dalam tubuhnya yang berubah berbalut darah. Ia sudah tak bernafas. Dan semudah itu bidadariku diangkat menjadi bidadari surga.
Sungguh aku mengutuk diriku dan kamera ini. kamera perekam kenangan tapi tak bisa membawaku ke sana, ke kenanganku dan bidadariku.
Maka aku yakin, bidadariku akan menemuiku untuk mengambil gambarku di halte yang sama, melihatku dengan sorotan matanya yang indah dari jendela surga.
Oh ya, kau tahu siapa orang disampingku ini? dari sorotan matanya seperti mengarahku. Apa yang ia ingin baca dariku, kau tahu?
-----
Aku memutuskan untuk mendekatinya. Lelaki itu tampaknya mulai menyadari keberadaanku. Syukurlah, pikirku.
Perlahan aku mendekatinya, sorotan matanya berubah aneh. Ia menatapku. Kosong, hanya itu yang ku lihat dari sorot matanya.
Aku mencoba membacanya, yang aku dapatkan kini sorot matanya berubah tajam, seperti kisahnya yang kalian baca, aku berhasil membacanya.
“hai.” Itu sapaanku kepadanya. namun ia masih diam. Aku mencoba memanggilnya lagi, menanyakan keraguanku.
“hai. Kamu sedang apa ya?” sorot matanya berubah ramah. Aku mengambil tempat disampingnya.
Ia tak berbicara, tapi matanya berbicara. Hei, dia tersenyum padaku.
Ia mencari sesuatu di dalam tasnya. Saat ia keluarkan adalah sebuah pensil dan kertas, segera ia menulis sesuatu dan memberikanku.
“hai, aku seorang tunawicara. Maafkan aku. Aku sedang menunggu objekku.” Begitu tulisannya.
“menunggu siapa?” kataku.
Ia menuliskan sesuatu lagi. “menunggu bidadariku.”
“bidadari? Kenapa ia lama sekali menemuimu?”
“ia mungkin sedang sibuk menjadi bidadari di surga. Makanya ia terlambat menemuiku. Hei, matamu indah, seperti dirinya.” Tulisnya.
“oh, ya? Terima kasih.” Aku tersenyum.
“maukah kamu menjadi objekku? Bidadariku sepertinya membuat lelucon, ia berada di dirimu.”
Sejak kejadian itu, aku menjadi mengerti. Aku mengerti cinta tak perlu banyak bicara, cinta hanya dari sebuah kesederhanaan, ia yang menganggapmu bak bidadarinya atau malaikatnya.

burung gereja dan pohon tua


Halo, selamat pagi dunia!
Perkenalkan, aku cici, aku seekor burung gereja. Ya, aku seekor burung. Aku baru saja beberapa bulan yang lalu lahir dan aku kini hidup mandiri. Ayah dan ibuku telah pergi, menjadi burung-burung yang indah di alam kekal, menemani dan menghiasi manusia-manusia yang berakhlak baik di dunia. Mereka menyebutnya; Surga.
Aku baru setiap hari atau paling tidak setiap minggu berpindah-pindah tempat, hinggap dari satu pohon ke pohon yang lain.
Kemarin tepatnya aku memutuskan mencari tempat baru. Di perjalananku di udara, aku melihat dua pohon yang sangat berbeda. Mereka seperti adik dan kakak.
Aku menebaknya mari kita sebut – pohon tua, ia terlihat begitu kekar bak manusia yang sering olahraga. Batang pohonnya tebal tak  setebal adiknya. Akar-akarnya mencuat dari tanah, mengerikan. Daun-daunnya mulai berjatuhan. Ya, dia pohon tua yang ku lihat dia begitu muram.
Aku memutuskan hinggap di pohon satunya, mari kita sebut – pohon muda. Ia berbeda dengan kakaknya. Ia masih terlihat indah. Daun-daunnya tak banyak yang menjatuhkan diri. Daun-daun itu sepertinya lebih mencintai ranting pohon daripada tanah. Pohon ini terlihat sangat ceria.
Tahukah kamu apa yang menjadikan pohon tua itu terlihat bersedih?
-----
Hai, aku pohon tua. Si burung gereja yang hinggap di tubuh adikku memanggilku dengan nama itu. Pedih, tapi kenyataannya, ya, aku adalah pohon tua.
Aku mulai tak semangat saat aku menyadari usiaku menjadi sangat tua. Aku sungguh iri dengan manusia-manusia yang biasa aku lihat. Mereka tampak bahagia, tua bersama yang dicintainya. Tak sepertiku.
Aku mendapatkan kabar, pemilikku, yang melahirkan aku di tanah ini akan menebangku. Ya, karena aku sudah tua. Aku mempunyai banyak saudara kembar, kau tahu? Mereka ada di tubuhku ini, mereka yang membuatku hidup. Mereka adalah akar, batang, ranting dan daun.
Aku semakin tak semangat menyerap air, terlihat dari badanku, aku telah lama menyerap air selama bertahun-tahun, menyimpannya di dalam tubuhku. Tapi, sekarang aku tak lagi ingin menyerap. Aku mendapatkan kabar buruk, aku akan segera mati dengan cara yang hina: ditebang.
Sungguh, aku ingin mati dengan caraku sendiri, kekeringan atau patah karena hembusan angin yang kencang. Saudara kembarku – daun mulai belajar mencintai yang lain.
Daun-daunku tak pernah mengenal tanah sebelumnya, sebelum labar itu sampai.
Daun-daunku tak terlalu mengenal tanah seperti ia mengenalku, tapi ia perlahan menjatuhkan diri ke tanah.
Ranting-ranting pohon itu mulai ikut mencintai tanah. Mereka kurus dan patah. Akhirnya mereka ikut pula menjatuhkan diri ke tanah, tentu saja dengan bantuan angin.
Aku sekarang hanyalah sebatang pohon tua yang meratapi saudara-saudaraku pergi menghadap tanah lalu ke alam baka terlebih dahulu, bukan bersamaku.
Aku yakin tanah adalah sesungguhnya jalan kita menemui-Nya, Tuhan pemilik dunia fana ini.
Sungguh menyedihkan, tapi aku ingin segera mati berselimutkan tanah.

Meja Belajar.


Aku hendak tidur. Bukannya aku tidak bisa tidur, hanya otakku selalu cerewet di kala seharusnya ia tidur. Otakku sedang sibuk membuat cerita sendiri. Dan aku mulai menyadari, kalau saja tanpa laptop, ataupun pena dan kertas, aku bisa membuat cerita bahkan sebuah novel. Tersimpan di dalam memori, disebut otak.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi. Dinihari tepatnya. Aku masih diam di dalam kamar, tapi otakku masih saja cerewet. Ia bahkan lebih cerewet daripada mulutku ini.
Dalam diam aku menatap meja belajarku. Ia memang tak sebagus meja belajar seperti punya teman-temanku. Ia sederhana. Sepertiku. Seperti keluargaku. Dulu.
Ia berwarna kayu. Hei, aku memang tak pandai mendeskripsikan sebuah warna, teman.
Meja belajarku adalah harta paling lama yang masih singgah di dalam kamarku. Aku mencintainya seperti halnya aku mencintai keluargaku. Meja belajar ini adalah keluargaku.
Meja belajar nan sederhana ini aku masih ingat. Tepatnya tahun 2000, aku masih berada di bangku Taman Kanak-kanak. Masih berada di kota kelahiranku, kampung halamanku, Malang, Jawa Timur.
Ayahku seorang tentara, saat itu gaji seorang tentara tak seberapa dibanding gajinya saat ini. Sangat kecil. hidup kami sungguh sederhana.
Salah satu impianku sedari kecil adalah aku ingin mempunyai sebuah meja belajarku. Aku, kakak perempuanku, bahkan ibuku sangat menyukai sinetron atau film di layar kaca. Di layar kaca sering aku melihat anak kecil sedang menulis, membaca, atau belajar di meja belajar yang terlihat bagus.
Aku bermimpi mempunyai meja belajar. Mimpi seorang anak TK berumur 5 tahun.
Keesokan harinya, ayahku datang membawa kayu seperti bongkar pasang mainanku. Tahukah kamu mainan bongkar pasang? Itu adalah mainan yang sangat lucu, teman. Sebuah kertas karton yang bergambarkan orang, perabotan rumah, juga pakaian. Di Malang, tempat kelahiranku, menyebutnya bongkar pasang.
Aku menghampiri ayahku yang sedang membongkar kayu-kayu-nan halus itu. Ada juga sepupuku dari Balikpapan yang kebetulan sedang berkuliah di Universitas Brawijaya datang membantu. Aku hanyalah seorang anak kecil, yang menatap heran, apakah ini yang sedang dikerjakan mereka?
Aku berdiri di samping mereka, aku berdiri seperti penutup pintu luar. Aku tetap dalam diam melihat mereka.
Tak cukup lama mereka memasang ‘itu’ dan baru ku sadari itu adalah meja belajar. Betapa senangnya diriku ini, teman!
celukno ibu, ngomong iki wis mari.” Aku segera berlari menuju rumahku. Mencari ibu dan tak sabar memanngilnya. aku yakin di dalam pikirannya, ibuku tahu apa yang sedang dalam pikiranku. Bukankah seorang ibu mempunyai batin yang sama dengan anaknya?
di sini, rumah mbah, aku berdiri dengan ibu, ayah, dan sepupuku. “gimana?” tanya ayah kepada kami. Aku hanya tersenyum dan berterima kasih kepada Tuhan.
“ini beneran untuk aku, yah?” tanyaku tak sanggup dalam diam.
Ayahku pun mengangguk. Akhirnya aku punya meja belajar pikirku. Bahagia itu sederhana, teman.
Sudah 13 tahun tepatnya aku bersama meja belajar yang sederhana ini. Sampai kami pindah ke kota ini, Makassar, meja belajar ini tetap bersamaku. Ia tetap sederhana seperti keluargaku.
Namun, ia juga mulai berkembang sama halnya dengan keluargaku.
Meja belajarku mulai penuh sesak dengan buku-buku. Entah itu buku pelajaran, sekolah, atau pun novel dan komik kegemaranku. Aku sudah lama suka membaca komik dan novel. Aku jadi gemar ke toko buku, kadang membeli kadang juga berharap buku di dalam sana ada yang bisa menemani meja belajarku.
Aku juga heran, aku seorang perempuan tapi lebih tertarik membeli buku daripada baju. Aku sering membeli buku novel atau pun komik dengan uang sendiri, tetapi kalau masalah baju terkadang aku dibelikan orang tuaku. Itu juga paling lama, hanya saat lebaran tiba. Sungguh, aku jarang sekali membeli baju daripada buku-buku yang menghiasi meja belajarku.
Sama halnya dengan keluargaku, keluargaku juga semakin berkembang. Alhamdulillah, hanya itu yang bisa aku ungkapkan. Aku sangat bersyukur, aku dan keluargaku bisa berkembang, tak terlalu banyak kesusahan seperti dahulu. Bahkan rumahku saat ini, walau pun rumah dinas-juga dibayar/dibeli, ia lebih besar dari rumahku terdahulu.
Tapi bagaimana pun, aku dan keluargaku insha Allah tetap akan menjadi sederhana, seperti meja belajar sederhanaku yang menatapku di ujung kamar.

mungkin.


Dini hari begitu cepat kembali. Dingin berselimutkan kerinduan dan rasa kecewa.
Aku masih belajar mengeja kita. Belajar memahami kita. Mungkin saja aku sedang belajar memahamimu, atau mungkin juga diriku sendiri.
Mungkin.
Ku biarkan ponsel pemberian ibuku setahun yang lalu tak terpakai. Hari ini ponsel ini hampir tak bisa digunakan. Hampir setiap jam aku menatap ponsel yang berdering. Aku tak bosan. Mungkin hatiku yang masih mengharapkan sebuah telepon di ujung sana.
Mungkinkah?
Sebuah telepon dengan orang yang sama. Kekasihku.
Aku kecewa dengan dirimu, sayang. Kecewa. Sangat kecewa.
Aku kembali mencoba menenangkan diriku. Belajar memahami kita.
Bukankah setiap hubungan pasti mempunyai masalah? Biarkan aku belajar memahami apa yang salah dengan hubungan ini.
Mungkin aku salah telah cepat mempercayaimu, memberikan hatiku. Ataukah mungkin dirimu yang salah menyerahkan hatimu yang berantakan kepadaku, agar aku bisa memperbaikinya, merawatnya.
Mungkinkah?
Di malam yang semakin larut, aku terisak bertemankan kenangan. Tiba-tiba saja kenangan berjalan menghampiriku. Satu tahun hubungan ini sudah terjalin, terlalu banyak kenangan yang datang menghampiri. Menyerbuku bak seorang buronan polisi. Aku hanya bisa menangis, berfikir, apa yang harus aku lakukan?
Mengakhiri atau memaafkanmu?
Apa lagi yang harus ku percaya denganmu?
“halo..”
“sayang, aku minta maaf..” suara di ujung sana, tetap dengan orang yang sama.
“iya, aku sudah memaafkanmu.”
“sayang?”
“iya? Maaf, ijinkan aku kembali menyendiri. Belajarlah dari kesalahanmu hari ini. Jika benar-benar sudah kau mengerti dan memahaminya, beritahu aku.”
“say..”
Tut. Tut. Tut.

Move on?


Aku kembali berada di tempat ini. Aku kembali berjalan ke masa lalu sambil menunggu masa depanku datang menghampiriku.
Rumahku sedang sepi. Ayah telah lama berpindah kerja, di luar kota. Dan hanya pulang ketika hari libur. Ibu sedang pergi. Aku ikut bahagia melihat dia mengikuti pengajian yang memang adalah hobinya terdahulu sebelum pindah ke kota yang dulu ku anggap sangat asing. Kakak perempuanku sedang di luar, jam kerjanya telah usai, tapi tidak dengan pergaulannya.
Aku terduduk sepi di ruang tamu. Ruang pertama aku bertukar cerita, juga hati. Ruang pertama yang membuatku yakin, kamu adalah sosok itu. Aku seperti menemukan cahaya, lebih indah dari sekedar bintang dan bulan yang hampir setiap malam aku kagumi keindahannya.
Tapi kali ini aku terduduk di sini hanya bertemankan sepi, juga kerinduan yang menggebu-gebu tapi tak ku akui keberadaannya. Aku kembali mengingat apa saja yang terjadi. Tetesan air mata mulai jatuh, tapi percuma, tetesan ini tak akan membawamu kembali. Pikirku.
Aku duduk di teras. Malam ini aku juga ditemani bintang dan rembulan. Di hadapanku anak-anak kompleks yang sering mengintip kita dahulu sedang berlari-larian. Aku tak pernah peduli dengan mereka.
Kemudian aku menyalakan mesin kendaraan, aku membawanya ke tempat selanjutnya. Coffeeshop. Aku memesan menu seperti biasa. Duduk di tempat biasa. Menatap ke luar. Sendiri. Tempat ini tetap sama, ramai. Tapi aku merasa asing di tempat ini. Rasanya aku adalah orang yang sedang tersesat mencari jalan keluar dari belenggu kenangan yang tak seharusnya diistimewakan.
Iced moccacino ini sangat dingin lebih dari biasanya. Mungkin saja iced moccacinno tahu tuannya sudah tidak menjadi sepasang. Kedinginan dalam sepi.
Tapi bukankah masa  depan tidak akan segera datang jika kita masih terbayang atau pun hidup di masa lalu?